The Clas

Ad-Do’ify Bukanlah Siapa-Siapa..
Dia Hanya Seorang Yang Ingin Mencoba..
So, Selebihnya Terserah..
…………………………………………………………………….

WARNIG…!
“Saya tidak memberikan idzin kepada siapa saja untuk menggunakan sepatah-duapatah kata yang ada disini untuk sesuatu yang tidak islami. Saya sudah terlalu banyak dosa, jadi tolong jangan ditambah lagi dengan sebab sepatah-duapatah kata disini”.
………………………………………………………………………………….

Judul : The Clas Tinggal Sepenggal Rasa
Penyusun : Ad-Dlo’ify
Sampul : Oink is Ad-Dlo’ify
Kategori : Seni Bahasa
Bentuk : Buku Mini
Status : Sudah Dicetak
Hak Cetak : M2KD & Shohib Ghurfah al-Malikie


THE CLAS TINGGAL SEPENGGAL RASA
Booklet Ikhtitam Oink is ad-Dlo’ify
Tulisan Menjelang Boyongan Dari Ma’hadinal Mahbub
Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan
……………………………………………………………………………………..

Kutulis Booklet Ikhtitam ini dengan bermacam rasa. Rasa yang berderu laksana deru ombak. Rasa yang bergemuruh laksana gemuruh angin. Rasa yang aku sendiri tak tahu apa inginnya. Rasa yang aku sendiri tak mengerti apa artinya dan mengapa ia menjadi rangkaian-rangkaian kata yang tertulis seperti ini. Yang jelas semuanya karena rasa yang ada dan terasa. Walau tidak kesemuanya terjadi di alam nyata, hanya terjadi diperjalanan angan di alam maya bersama bisik-bisik khayal dan celetuk-celetuk tanda tanya.
Tulisan di Booklet ini terkesan aneh. Sedikit konyol, lucu, dan asal-asalan. terkesan ditulis dengan penuh perasaan, harapan dan khayalan.
Inilah buku pertama yang aku tulis tanpa tahu apa tujuan, esensi, manfaat dan bentuk alur ceritanya. Inilah buku pertama yang aku tulis tanpa inspirasi. Pengimajinasi tak ada inspirasi bagaimana bisa? “Aku juga tidak tahu”. Dan inilah buku pertama yang isinya seakan ingin menggambarkan seperti apa penulisnya-asal ada, tidak terkonsep, semaunya dan penuh tanda Tanya-yang ingin jalani hidup apa adanya. Namun meski demikian adanya Booklet ini, aku berharap tetap ada sedikit (walau pun tidak sebesar titik) manfaat yang bisa diambil oleh pembaca, terlebih oleh diriku sendiri. Amin ...


The Clas
Iftitah

Bismillahirrahmanirrahimi…

The Clas One
Sehening Rasa

SEJENAK…

Dalam angan kadang terlintas keangkuhan, dalam hati kadang terbersit kesombongan dan dalam jiwa kadang terasa kehormatan. Ini semua tak jarang terasa pada diri seorang manusia. Pantas jika banyak manusia-manusia sombong busungkan dada dan tak heran kalau kadang harta dan kedudukan menimbulkan rasa keagungan.

Tak sedikit orang yang ilmunya baru seumur jagung kini berani menyepelehkan orang lain karena menganggap dirinya lebih pintar sedang orang lain tidak ada apa-apanya, bahkan kadang sampai lupa untuk sekedar menghargai yang lebih tua. Padahal sepintar apa pun manusia tetap saja bodoh, karena masih banyak sekali maslah-masalah yang belum bisa ia pecahkan pun masih menggunung yang belum ia tahu. Banyak orang yang tampan/cantiknya tidak seberapa, kayanya baru segitu dan kedudukannya hanya segitu sudah “mengasingkan diri” dari orang lain. Acuh, bahkan kadang sampai lupa untuk hanya sekedar menyapa saja. Padahal semenawan apa pun rupanya tetap saja ada yang kurang, pun itu hanya dalam masa beberapa tahun saja, tak lama lagi juga akan jadi kakek-nenek yang tidak enak dilihat. Muka yang dipuja-puja akan keriput, tubuh yang di bangga-bangga akan “layu” jika nanti sudah tua renta. Sekaya-kayanya manusia tetap saja punya hutang, berhutang atau paling tidak peranah meminjam. Seterhormat-terhormatnya manusia karena jabatan tetap saja ada batasnya, suatu saat juga akan berhenti.

Walau gunung tinggi menjulang
Tapi ia tak dapat merangkul rembulan
Rumput memang tak seindah mawar
Tapi sedikit pun ia tak pernah berkeluh sesal
Seisi mata, sungguh satu pun tak ada yang sempurna
Meski mereka berteriak seakan hanya mereka
Jika semua ini menyimpan sebuah arti
Apalah artinya aku, dia dan mereka itu?

Terkadang penyepelehan dan celaan pun keluar, hinaan pun terlontar pada orang lain yang dianggap tidak berguna dan berarti apa-apa, sedang bukankah manusia selamanya akan selalu butuh pada yang lain, pada sesama? Rupa menawan mungkin ilmu kurang, ilmu banyak mungkin materi kurang, materi cukup mungkin tenaga kurang, tenaga kuat mungkin penghibur hati kurang dan begitulah seterusnya akan ada kekurangan-kekurangan yang yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Manusia tidak akan pernah sempurna, karena manusia memang terlahir dengan tidak sempurna. Hanya dengan segitunya, seadanya…

Mengapa harus mencibir cuma karena kini punya rupa menawan? Bukankah dulu kita hanya bayi gundul, sudah begitu ompong. Nanti pun akhiranya akan menjadi si Bongkok berkulit keriput, juga kadang dengan gigi ompong. Mengapa harus acuh cuma karena kini punya harta melimpah? Bukankah dulu kita hanya bayi miskin, sudah begitu terlahir telanjang. Miskin sekali… Datang hanya numpang tidak membawa apa-apa. Nanti pun akhirnya juga hanya akan kembali menjadi si Miskin yang hanya punya seliang tanah, selembar kain kafan. Si Miskin yang pulang harus dihantarkan. Ya… Si Miskin yang dulu datang hanya numpang tidak membawa apa-apa dan pulangnya pun masih merepotkan, menyusahkan banyak orang. Dan mengapa harus sombong cuma karena kini banyak dapatkan penghormatan punyabanyak kedudukan sebab punya banyak kelebihan? Bukankah dulu kita hanya bayi yang tidak bias apa. Jangankan untuk unjuk gigi dan angkat suara, untuk makan minum pun masih harus diajari, dilatih. Tak jauh-jauh beba dengan Beo yang harus dilatih untuk tahu bersuara. Tak jauh-jauh beda dengan anak Perkutut yang makan saja mesti harus disuapin. Jangankan untuk bergaya, berleha-leha di kursi jabatan, untuk merangkak saja masih harus dilatih. Nanti pun akhirnya juga akan menjadi si Renta yang harus dituntun dan kembali berpangku tangan pada orang lain.

Kau pun hanya manusia..
Jangan kau cela aku
Sebab kau kan tertunduk karena celamu
Mengapa pula kuharus mencelamu
Sedang yang tercela bukan cuma kau tapi jua aku

Dapat dibenarkan, jika manusia adalah makhluq ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluq-makhluq lainnya dengan adanya perpaduan akal dan nafsu. Manusia akan bisa lebih pintar dari hewan, akan lebih berguna dari tumbuhan, tapi lagi-lagi hanya manusia, tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai makhluq yang Dlo’ify, selamanya…! Bagaimana mungkin kiranya manusia bisa lepas dari kebutuhan terhadap yang lainnya? Sedang untuk urusan makan-minum saja manusia masih butuh pada tumbuhan dan mata air. Pepohonan yang setiap hari kita acuhkan tak pernah kita “sapa” ternyata menjadi tempat berteduh kita dari teriknya matahari dan derai hujan. Nah, terus bagaimana lagi kebutuhan manusia terhadap sesamanya?.
Kalau manusia mau mengerti dan sadar akan semuanya, adanya, kodratnya maka sepertinya tidak ada jalan dan sedikit celah yang pantas dan bisa untuk manusia jadikan kebanggaan hingga kemudian angkuh dan sombong, angkat bahu setinggi mungkin serta menutup mata terhadap sesama. Harta yang melimpah bisa lenyap dalam sekejap dan toh juga tidak akan dibawa mati. Pangkat-kedudukan pun takkan abadi itupun tak tentu bisa membuat diri bahagia. Ilmu dan pengetahuan yang tinggi semuanya pun serba terbatas, manusia tidak akan tahu berapa banyak jumlah pasir di pantai, apalagi untuk menciptakan seekor nyamuk yang bisa terbang. Lalu apa lagi kiranya yang patut membuat manusia busungkan dada, tinggikan bahu, angkuh, congkak dan sombog ?

Okelah…! Jika kita merasa lebih plus beruntung karena mungkin kita mempunyai sedikit atau begitu banyak kelebihan yang jarang dimiliki oleh orang-orang disekitar kita, tapi bukankah semua itu hanya majazy, karena sebenarnya kelebihan itu adalah sebagai penutup dari kekurangan-kekurangan yang kita miliki. Bukankah semua itu hanya titipan Ilahi, jika pada nyatanya semua itu bisa lepas dan pasti berakhir. Jika nyatanya kita mempunyai kelebihan dan kekurangan bukankah tentunya orang lain juga begitu? Lah mereka juga manusia sama seperti kita. Lalu mengapa dan atas dasar apa kita mesti sombong jika semuanya majazy dan titipan Ilahi yang untuk di-syukuri bukan untuk di-kufuri serta dibangga-banggakan, lalu angkat bahu setinggi mungkin seakan tak tahu kalau ada orang lain.

Tidak malukah kita pada Dzat pencipta, Dzat pemberi semua, jika kita sampai lupa diri cuma karena kata orang-orang sebelah kita mempunyai sedikit kelebihan-kelibahan, yang sebenarnya semua itu hanyalah titipan, yang suatu saat, kapan saja dan dimana saja bisa diambil oleh pemiliknya, Tuhan. Tidak malukah kita pada-Nya jika ber-gede rasa di atas bumi ini dengan sedikit keindah rupa menawan pemberian-Nya itu, dan bukankah IA-lah sebenarnya Dzat yang Maha indah itu? Tidak malukah kita padanya jika ber-unjuk gigi di atas bumi ini dengan setitik ilmu karunia-Nya itu, dan bukankah IA-lah sebenarnya Dzat yang Maha tahu itu? Tidak malukah kita pada-Nya jika ber-sombong diri di atas bumi ini dengan secuil hatra titipan-Nya itu, dan bukankah sebenarnya IA-lah Dzat yang Maha kaya itu? Dan tidak malukah kita pada-Nya jika ber-agung diri di bumi ini dengan sedikit pangkat dan keterhormatan pemberian-Nya itu, dan bukankah IA-lah sebenarnya Dzat yang Maha agung itu? Tidak malukah kita padahal IA menyaksikan semuanya? Atau mungkin kita sudah tidak lagi mempunyai rasa malu, tidak tahu malu.

Cukuplah… Mau kemana juga kita….? Tidak usah terlalu berlebih-lebihan cuma karena suatu kelebihan. Cukuplah disyukuri dan dinikmati, jangan malah dijunjung-junjung sebegitunya hingga akhirnya-na’udzu billah min dzalik-lupa kalau itu adalah anugerah dan titipan dari Tuhan, yang semuanya adalah merupakan amanat serta nanti akan dimintai pertanggung-jawaban. Toh biar bagaimana pun, seperti apa pun kita tetap saja makhluq biasa yang bisanya juga cuma yang “biasa-biasa saja, itu-itu saja” tidak pernah dan tidak akan pernah berubah menjadi “MAHA”.

“Maaf, tidak niat untuk mengkhotbai semua lewat tulisan ini. Hanya saja saya sekedar ingin mengungkapkan apa yang sedang ingin saya ungkapkan pada diri saya, jiwa saya. Anda? Terserah…”

The Clas Two
Sepenggal Rasa

KEPAKAN PATAH

Orang yang ceria, santai, damai seakan tak pernah ada masalah. Begitulah aku dimata kebanyakan orang-orang disampingku.

Kata mereka, aku seperti "Manusia batu" yang seakan tak pernah rapuh. Selalu kelihatan tegar. "Manusia tanpa rasa" yang tak pernah kelihatan resah-gelisah apalagi soal masalah cinta. Kata mereka, aku orang yang selalu bahagia meski tanpa kekasih pujaan jiwa. Yah…Begitulah, sikap dan tingkah-lakuku telah membuat mereka beranggapan seperti itu.

Terkadang, aku pun bertanya pada diriku sendiri, benarkah yang mereka kata bahwa aku tak memiliki cinta. Karena memang dari kecil hingga kini mulai beranjak dewasa aku belum pernah menjatuhkan rasa itu pada salah seorang yang ada diantaraku. Wajar jika orang-orang pun bilang aku adalah orang yang bahagia dalam kesendirian, damai dalam kesunyian, bersahaja bersama diriku sendiri.

Namun anggapan mereka selama ini terhadapku sepertinya harus aku patahkan, saat setelah aku bertemu seseorang yang sebelumnya tidak pernah aku tahu dan aku kenal. Hanya dalam hitungan menit saja pertemuan itu, tapi entah mengapa bayangannya selalu ada. Telah aku coba untuk menghapusnya dengan menganggap itu hanyalah bias dari pertemuan pertama saja, tapi tetap saja ada. Tak ada yang tahu tentang hal ini, karena memang aku sengaja berusaha untuk selalu menutupinya agar mungkin tak ada seorang pun yang tahu.

Hari terus berjalan, bayangan itu seakan makin mematung dihadapanku. Dan, kini bukan hanya bayangan tapi sepertinya telah muncul semacam sebuah rasa, rasa yang selama ini belum pernah aku rasakan. Aku mulai sepi dalam keramaian, aku mulai resah dalam kesendirian, aku mulai menemukan rawut wajahnya dalam lamunan dan aku mulai merindunya dalam putaran detik-detik kosongku. Kadang aku bertanya sendiri "Lucu, pertemuan itu hanya dalam hitungan menit saja, mengapa begitu lama membekas? Rawut wajahnya hanya pernah aku tatap dalam hitungan detik saja itu pun tanpa sengaja, mengapa bayangannya selalu menari-nari dimata?"

Aku mulai tak mampu memahami diriku. Aku paksakan diri untuk bercerita pada dia orang yang bayangannya sering hadir dibenakku, yang namanya sering terucap dari bibirku, yang hadirnya sering aku harapkan dihatiku tentang apa yang aku rasa, karena mungkin dengan inilah aku pikir diriku akan lega. Aku ungkapkan semua apa yang terasa padanya lewat oretan-oretan pena yang kukirimkan.

Jujur, setelah itu hatiku penuh harap, semoga rasa itu berlabuh pada orang dan saat yang tepat. Semoga rasa itu datang dan dapat tinggal ditempat yang pemiliknya juga berharap, membukakan pintu lalu mempersilakan rasa itu masuk. Namun tak dapat dipungkiri, kecemasan pun jua ada dibenakku. Aku takut rasa itu berlabuh di dermaga yang tak lagi dapat menerima perahu berlayar yang datang untuk bersandar. Aku takut rasa itu tak menemukan pintu untuk masuk, dan harus pulang kembali seorang diri. Aku takut rasa itu harus rela terkurung sendiri lagi dihatiku. Banyak harap-cemas dan praduga pada diriku selepas kukirimkan rasa itu padanya. Aku harus menunggu dan menunggu, berandai dan berandai, sebab aku pun tak tahu apa yang akan terjadi padaku dan rasaku nanti.

Nyatanya aku pun mulai tak sabar, kucoba bertanya pada teman terdekatnya: adakah kabar darinya tentang rasa yang telah kukirimkan? Teman terdekatnya pun tak tahu, katanya tak ada sepatah kata darinya tentang rasa yang kukirimkan. Mendengar hal ini aku hanya bisa diam dan sedikit tertunduk lesu. Ternyata bukan hanya padaku tapi pada teman terdekatnya juga tak ada kabar berita. Dia tak pernah bercerita tentang apa yang telah aku rasa.

Hari-hariku semakin kelabu, pikiranku makin tak menentu. Aku lebih banyak diam dan menyendiri, tapi kini diam dan kesendirianku tak lagi seperti dulu. Tak kurasakan lagi kedamaian dalam sepiku, tak kurasakan lagi keindahan dalam diamku. Bahkan kadang yang ada seakan hanya dirinya bukan diriku. Hampir tak kutemui lagi aku yang kata orang selalu mengedepankan rasio, berpikir panjang, penuh pertimbangan tak mudah rapuh dibuai perasaan.

Rasaku…
Dimanakah dirimu?
Bagaimanakah kabarmu?
Tak sendiriankah dirimu?
Atau sebenarnya kau sedang kesana-kemari berlari-lari sebab tak menemukan tempat untuk berlabuh
Menangis-nangis sendu untuk lepaskan kecewamu sebab tak mendapatkan pintu, lalu.., baru setelah itu kau akan kembali padaku
Rasaku…
Cepatlah kembali jika kau telah dibukakan pintu dan masuk ke dalam hatinya
Pulanglah, serta bawalah rasa dan cintanya kepadaku bersmamu biar aku tak lagi merasa sendiri
Rasaku…
Pulanglah segera jika memang kau tak temukan rasa lain yang dapat bersamamu, mendampingimu, mengertimu
Kembalilah jika ia tak dapat menjadi tempatmu berlabuh
Pulanglah, kembalilah padaku, biarlah dirimu berdiam kembali dijiwaku
Menangislah…Lalu kemudian damailah kembali bersamaku
Kita hadapi bersama, lalui bersama dan rasakan bersama
Kemudian jangan peranah lagi kita berpisah

Beberapa lama waktu kemudian, aku baru dapatkan kabar tentang rasaku lewat lembaran kertas yang dia kirimkan, dia yang selama ini selalu membayangiku. Dia ungkapkan, dia ceritakan rasanya padaku

Buat:
Orang yang telah mengirimkan rasanya padaku

Wahai orang yang telah mengirimkan rasanya padaku…
Rasa yang engkau kirimkan telah sampai padaku. Ia telah mengetuk dan mencoba untuk membuka pintu rasaku, jua telah meminta padaku agar dipersilakan masuk kedalam rasaku. Aku pun sebenarnya telah membukakan pintu dan mempersilakan pada rasamu untuk masuk kedalam rasaku, melihat apa yang ada pada rasaku. Namun aku belum bisa mengizinkan ia untuk membawa rasaku kepamu, bersamamu.

Wahai orang yang ketegaran hatinya pernah aku kagumi…
Maaf, tidak ada niat dihatiku untuk menolak rasamu, tapi aku hanya tidak ingin jika nanti kuizinkan rasaku bersama rasamu ia akan membuat dirimu terlena. Aku tidak ingin nantinya rasaku meracuni dirimu.
Aku masih ingat, kau adalah orang yang berusaha untuk berpikir jernih, sehingga dirimu bisa berbagi, memberi solusi dan kadang dirimu bisa menjadi tempat bersandar diri, berhibur diri untuk sekedar lepaskan duka-lara dihati orang lain.
Jujur.., aku mengagumimu. Saat aku rapuh kau hadir bawakan ketegaran dan warna baru dihidupku, saat aku duka kau datang bawakan tawa senyuman dibibirku.
Dengan berat hati kupaksakan memutuskan begini. Maaf sedikitpun tidak ada maksud untuk patahkan rasa yang kini telah hadir didirimu apalagi membunuhnya. Aku benar-benar takut jika nanti rasaku bersama rasamu kau pun juga akan menjadi orang yang rapuh. Lalu…, siapa nanti yang akan tegarkan aku dan juga mungkin teman-temanku, teman kita? Aku sadar kaulah salah satu orang yang dapat menjadi tempatku juga mereka temanmu dan temanku bersandar, sekedar hilangkan keresahan, lepaskan kebimbangan. Orang yang bisa buat aku juga mereka kembali tersenyum, kembali tegar tapaki sisa-sisa kehidupan ini. Mungkin biarlah dirimu tetap selalu menjadi orang yang tegar, biarlah aku, kau dan mereka tetap seperti dahulu.
Maaf, keputusanku ini bukan berarti menyuruhmu menjadi manusia tanpa rasa tanpa cinta, karena aku sadar soal rasa kaprahnya manusia normal itu sama. Tapi sungguh, aku masih ragu jika ini terjadi, aku belum siap jika ini kita jalani. Aku tak menyalahkan rasa yang kini ada padamu, tapi mohon jangan aku orang yang harus bersamanya, bersama rasamu? Pun karena untuk saat ini, jujur rasa itu belum ada pada diriku. Peliharalah ia dan cobalah kirimkan ia pada orang yang telah siap untuk bersamanya, bersamamu, mendampingimu selamanya.

Wahai orang yang kepeduliannya telah aku rasakan…
Mohon dengan sangat… Maaf.., jika aku tidak dapat menjamin keselamatan rasamu saat ia kembali kepadamu. Maaf jika rasaku tidak bisa mengantarkan rasamu pulang untuk kembali kepangkuanmu. Tapi aku sangat berharap ia tidak tersesat, apalagi sampai masuk ke rimba kekecewaan yang melelahkan sekali untuk mencari jalan keluarnya. Sekali lagi maaf…, tak ada sedikitpun niat dihatiku untuk mengecewakanmu dan membunuh benih-benih rasa yang kini ada padamu.

Dari:
Orang yang telah kau kirimkan rasa

Entah kenapa setelah aku baca kata demi kata itu seakan ada yang hilang dari diriku. Ada kesedihan dan kehampaan pada jiwaku. Aku juga tak tahu kenapa setelah itu ada perasaan sedih, seakan ada yang patah pada didiriku. Mungkin karena aku merasa bahwa rasaku akan kembali kepadaku sendirian tanpa teman. Bukan aku yang kutangisi tapi rasaku. Aku takut ia tak lagi mau kukirimkan pada seseorang, aku takut ia benar-benar menutup rapat pintunya hingga nanti takkan ada lagi seorangpun yang mampu untuk membukanya, aku takut kepercayaan dirinya hilang untuk selama-lamanya, aku takut…! Aku takut ia takkan mau lagi tampakkan wajahnya. Hingga harus aku akui aku pun tidak setegar batu karang dilautan yang tetap tegar walau dihantam ombak gelombang. Aku bukanlah manusia batu yang seperti orang kata yang tak pernah teteskan air mata, tak punya rasa.

Dulu aku mengira akulah surya yang selalu terang walau tanpa cahaya rembulan
Dulu aku mengira akulah siang yang selalu indah walau tanpa kemilau bintang-bintang
Dulu aku mengira akulah merpati yang dapat terbang tinggi walau tanpa tiupan semilir angin
Dulu aku mengira akulah batu karang yang tegar kokoh walau diterpa ombak-badai di lautan
Dan, dulu aku mengira akulah tugu baja yang tegak berdiri walau tanpa sandaran
Tapi ternyata…
Akulah rembulan yang takkan bercahaya indah tanpa sinar mentari
Akulah malam yang takkan indah tanpa gemerlap bintang-bintang
Akulah debu yang takkan terbang tanpa hembusan semilir angin
Akulah pasir di pantai yang kan terkikis ombak gelombang
Dan, akulah tiang rapuh yang butuhkan tempat bersandar

Aku telah mencoba untuk bertanya: Apa sebenarnya yang telah hilang dariku hingga aku harus teteskan air mata? Siapa yang telah tiada dariku hingga aku merasa berduka? Siapa yang telah pergi dariku hingga jiwaku terasa hampa? Tak ada, tidak kutemukan jawabnya.

Ada sedikit penyesalan kenapa harus kukirimkan rasaku itu padanya, kenapa tidak kubiarkan saja ia damai bersemayam di dalam jiwaku tanpa harus ada seorang pun yang tahu termasuk juga dia. Andai saja bisa, ingin rasanya kutarik kembali rasa itu padaku, tapi semuanya terlambat, rasa itu telah ada padaku. Telah aku biarkan ia untuk mencari belahan jiwanya.

Sebenarnya aku telah mencoba untuk menghapus rasaku ini, untuk menutup cerita ini, tapi entah mengapa aku tak bisa. Rasa itu seakan telah sesaki ruang jiwaku. Aku tak bisa pudarkan senyumannya dari kelopak mataku. Aku tak bisa hilangkan kata-katanya dari rongga-rongga telingaku dan aku tak bisa hapus namaya dari relung jiwaku.

Telah aku ajak angin tuk bawa terbang lenyapkan rasa itu
Telah aku ajak hujan tuk hapus rangkaian aksara nama itu
Namun rasa itu kembali datang saat hembus angin berlalu
Nama itu tertulis pula saat derai hujan reda kembali teduh
Aku tak tahu mengapa rindu ini semakin menggebu
Mengapa rasa itu kian sesaki dadaku
Tak tahu kapan semua ini kan berlalu
Mungkinkah akan pudar lambat laun seiring waktu
Atau, semua ini akan terus bersemayam dan baru akan berhenti jika nanti aku terbujur kaku

Aku mulai bertarung melawan diriku sendiri. Aku berusaha untuk melawan rasaku sendiri walau kadang semuanya seakan sia-sia, karena aku tak jua bisa menghapus apa yang telah ada, apa yang telah terasa. Telah aku coba untuk mencari celah-celah yang mungkin bisa kumasuki lalu kupatahkan rasaku ini, namun seakan jua tak ada lagi celah.
Inikah rasa yang kata orang jika telah terlanjur ada pada diri seseorang akan melekat begitu kuat. Sehingga dapat membuat seseorang terkesan bodoh, lemah, cengeng dan sebagainya. Rasa yang dapat membuat seseorang lebih banyak berkhayal, berandai dan berandai. Kadang mengingat apa yang telah lalu dan kadang menyesali apa yang telah terjadi. Kadang mempertanyakan apa yang sedang terjadi dan kadang mengingkari apa yang sedang dialami. Inikah rasa yang banyak menimbulkan banyak senadung lagu-lagu cinta, mengukir banyak untaian-untaian kata asamara dan ini juakah rasa yang banyak ungkapkan untaian-untaian kata-kata pahit dan alur-alur cerita memilukan.

Aku semakin terpuruk disaat-saat aku sedang bersamanya, terkadang aku harus mengukir senyuman padanya disaat bibirku terasa begitu berat sekali untuk tersenyum. Kadang tampakkan keceriaan dan ketegaran disaat jiwaku sedang merunduk diam di ruang yang begitu curam. Semua harus aku paksakan agar aku tetap terlihat seperti dahulu dimatanya. Kini hari-hariku lebih banyak dengan berpura, lebih banyak dengan bersandiwara untuk menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sempat juga terpikir olehku, benarkah ini rasa cinta atau hanya sekedar hasrat untuk memiliki saja seperti apa yang sering orang-orang kata. Aku tak tahu apakah ia tahu akan kepura-puraanku. Apakah ia tahu apa yang sebenarnya sedang dirasa direlung jiwaku, sebab aku pun jua tak tahu apakah senyuman yang ia berikan padaku keluar dari lubuk hatinya, atau hanya sekedar untuk menghapus kegundahan dan mungkin juga duka-lara yang harus kuakui kini terasa ada dibagian jiwaku. Apakah cerita dan canda-canda itu ia berikan dengan tulus ikhlas atau hanya sekekedar untuk menghibur kekecewaan dan kehampaanku saja.

Dan kini aku sudah tak mampu lagi, aku tak tahan lagi terus begini, terus bersembunyi memendam semuanya seorang diri. Aku tak bisa lagi untuk terus berpura dan membohongi diri sendiri dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus berbagi… Aku harus bercerita… Ya aku harus bercerita dan ungkapkan semuanya pada ia yang kini selalu membayangiku, biar tak ada lagi kepura-puraan dari diriku. Aku tak tahu apakah ini jalan yang tepat atau malah sebaliknya, tapi nyatanya aku telah paksakan jemari tanganku untuk menulis dan berbagi cerita padanya lewat oret-oretan sisa tinta pena yang kupunya, semampuku…

Buat Kau:
Hubby

Sudah saatnya kuungkap kejujuran akan rasaku, karena aku tidak kuat lagi untuk terus berpura di depanmu, pun kurasa telah terlalu lama aku begini bermain-main dengan sandiwara, menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi dan terasa.

Hubby..
Terima kasih, aku kabarkan padamu bahwa rasaku telah kembali padaku dari perjalanannya untuk mengetuk, membuka dan melihat rasamu, namun sayangnya mulai saat itu dan sampai saat ini ia belum bisa damai dijiwaku, ia masih terombang-ambing, sebab harus aku akui aku pun belum bisa membuat ia lepas dari bayang-bayangmu. Aku telah berusaha semampuku… Bahkan aku pernah mencoba untuk membunuhnya, namun hingga detik ini semuanya masih terasa sia-sia.

Hubby..
Aku sadar ini hanyalah gejolak sebuah rasa yang pengendalinya adalah aku, dan mungkin saja bisa berubah seiring berputarnya waktu.
Maaf.., jika mungkin kau temukan aku sedikit berubah, karena jujur juga harus kuakui kini dijiwaku ada sedikit kecewa dan penyesalan, aku menyesal mengapa harus kudengarkan rasaku ini dan hingga akhirnya aku berani mengirimkannya padamu. Maaf.., jika nanti jarang kau temukan tawa riangku, ketegaran jiwaku, aku msih harus berjuang…, aku masih harus berperang melawan apa yang sedang terjadi dan terasa dijiwaku, karena aku pun tak mau terus-terusan begini, berubah jadi sosok yang benar-benar lemah dan rapuh lalu kemudian roboh. Aku tidak ingin seperti MAJNUN yang rela akhiri masanya dengan kepiluan hingga akhirnya menjadi DONGENG generasi penerus sepanjang masa, aku ingin jiwaku segera bangkit dan kembali seperti dulu. Aku harap kau pun bisa mengerti dan memaklumi akan diriku, rasaku.

Hubby..
Terakhir, kumohon biarkanlah aku dulu, biarkanlah dulu aku berjuang melawannya dengan caraku. Namun bukan berarti aku berharap kau pun menjauh, karena harus aku akui bahwa hingga detik ini aku pun masih mengharapkanmu, bayanganmu belum bisa hilang dari kedalaman jiwaku. Bahkan jujur… Aku pernah memimpikan kau jadi pendampingku. Kita berbagi bersama.., kita makan bersama.., tertawa dan bercanda bersama.., kita sholat dan berdoa bersama.. Kau sedih aku yang hadirkan senyum dan canda-tawa untukmu. Kau menangis aku yang mengusap air matamu, kau susah aku berduka. Kau senang aku gembira. Ya..,kita lalui dan arungi hari-hari bersama dalam suatu ikatan yang suci, ikatan yang halal diridloi. Tapi aku harus sadar kalau itu semua hanyalah mimpiku saja, anganku saja karena kau tidak memiliki rasa yang sama sepertiku. Kau tidak memiliki mimpi yang sama sepertiku. Rasa itu tak ada padamu, cinta itu tak ada dihatimu karena seperti yang kau kata kau hanya mengagumiku saja. Aku berharap kau mengerti jika ada yang sesuatu yang beda dariku, pada diriku, aku masih harus berjuang… Biarkanlah dulu aku begini menapaki jalan-jalan berliku untuk mencari serpihan-serpihan jiwaku, baru jika nanti setelah semuanya tertata rapi kembali aku akan datang dan kembali bersamamu dan seperti dahulu…
Dari Aku:
Orang yang masih dalam perjuangan


The Clas Three
Sebuah Harapan

Teruntuk Calon Istriku:
Jamilatun Sholihah

Asslamu Alaikum Warrohmah…
Bertahun-tahun sudah aku berkelana tapaki jalan-jalan kehidupanku demi sebuah harapan. lama sudah aku mengasing tegarkan hati demi sebuah cita masa depan. Terkadang aku pun sudah merasa tak tahan lagi dan ingin segera diri terbebaskan namun aku pun sadar ini hanya bagian dari perjalanan yang akan berakhir jua nanti dipenghujung jalan. Kadang harus aku lalui lorong-lorong sunyi-sepi. Kadang harus aku injak kerikil-kerikil tajam dan sedikit duri dan kadang jua aku seakan kehilangan arah, kehabisan tenaga namun lagi-lagi aku harus sadarkan diri bahwa ini adalah bagian dari sandiwara yang aku perankan sendiri. Dan kini… aku sudah hampir sampai dipenghujung jalan yang kini aku jalani.

Calaon istriku Jamilatun Sholihah…
Kaifa haluk…?
Maaf, jika mungkin diwaktu-waktu kemarin aku tidak begitu menghiraukanmu. Jika terkesan aku tidak pedulikanmu dan jika kelihatannya aku hanya pentingkan diriku. Maaf…, itu pun jua aku lakukan untukmu. Aku masih harus lalui lorong-lorong sana demi sebuah harapan masa depan aku denganmu. Ya…demi aku, kamu dan semua awlad sholih-sholihah aku denganmu.

Calon istriku Jamilatun Sholihah…
Hari-hari kemarin bukan aku buta, tapi aku sengaja enggan untuk menlirik, karena aku tak ingin perhatianku tercecer di jalan sana, pada orang-orang sana. Perhatianku hanya untukmu... Hari-hari kemarin bukan aku tak punya cinta, tapi aku sengaja mengurung rasa, karena aku tak ingin cintaku terbagi di lorong sana, pada orang-orang disana, cintaku hanya untukmu… Aku ingin memberikan yang seutuhnya padamu, cintaku…, rasaku… seutuhnya untukmu dan aku berharap kau pun jua begitu.

Calon istriku Jamilatun Sholihah…
Tenanglah…kini aku sudah hampir sampai dipenghujung jalan, tersenyumlah… sebentar lagi aku akan datang dan menemuimu. Aku akan menjemputmu dan lalui jalan dan lorong-lorong berikutnya bersamamu. Akan aku berikan semua perhatian yang kemarin belum pernah kau dapatkan dariku, akan kuberikan semua cinta dan kasih sayang yang selama ini belum pernah kau rasakan dariku dan akan kuberikan semua apa yang belum pernah kau dapatkan dariku. Ya…Semuanya.

Calon istriku Jamilatun Sholihah…
Tinggal sebentar lagi…aku akan datang, sambutlah dan persiapkan semuanya, terimalah…apa yang akan aku bawakan dari perjalananku disana, semuanya…, seadanya… Sebab aku pun jua akan menerimamu sepenuhnya…seadanya… Lalu mungkin takkan kutarik semua itu lagi selamanya.
Ya… Kita akan lalui bersama… Kita rangkai bersama cerita-cerita indah berikutnya, kita lukis bersama pemandangan-pemandangan indah yang ada di jalan sana dan kita tembus dan susuri bersama jika mungkin ada lorong-lorong buntu disana, berikutnya… Genggamlah terus dengan erat tanganku…Sebab aku pun kan berusaha sekuatku untuk menggenggam erat genggamanmu, sekuat kita…

Calon istriku Jamilatun Sholihah…
Jika diperjalanan kita nanti sepoi angin telah buatmu senang tersenyumlah padaku, karena akulah orang yang tak akan pernah bosan dengan senyummu. Jika nanti kicau burung telah buatmu bahagia berikanlah tawa riangmu padaku, karena akulah orang yang tak akan pernah bising oleh gelak tawamu dan jika mungkin nanti duri-duri kecil telah menusuk dan melukai telapak kakimu mengadu dan menangislah padaku, karena aku jualah orang yang akan mendengarkanmu, mengusap air matamu, membiarkanmu menangis berpangku serta membalut luka-lukamu, karena akulah orang yang kini datang hanya untukmu, menjemputmu lalu membawamu berdiam bersamaku juga bersama awlad sholih-sholihah aku denganmu.
Dan jika nyatanya selama ini kau ditetapkan oleh-Nya untuk menantiku, maka memohonlah kepada-Nya agar dikehidupan yang akan datang nati kau tak lagi ditetapkan untuk menanti. Jika nyatanya selama ini kita ditetapkan oleh-Nya untuk terpisah sebelum bersama, maka memohonlah pada-Nya agar kelak dikehidupan yang akan datang kita tidak lagi ditetapkan untuk terpisah lagi. Ya…Kita mohon kepa-Nya agar aku, engkau dan semua awlad kita tidak berpisah dikehidupan kini hingga ajal tiba nanti, dan kehidupan nanti setelah semuanya dibangkitkan kembali. Selalu bersama, di dalam rahmat-Nya, ridlo-Nya…
Tsummassalamu Alaikum Warrohmah..

Dari Calon Suamimu:
Qowwam ‘Alek

The Clas Four
Ekspresi Rasa

RASA

Kalau badai, petir dikata menakutkan
Kau bisa lebih menakutkan dan mengerikan
Kalau istana dikata megah
Kau bisa lebih indah, luas dan megah
Kalau lubang semut dikata sempit
Kau bisa lebih sempit dan pengap
Kalau goa-goa dikata hampa
Kau bisa lebih sunyi-sepi dan hampa
Kalau gula, madu dikata manis
Kau bisa lebih manis dan enak dirasa
Kalau jamu, empedu dikata pahit
Kau bisa lebih pahit dan memualkan
Kalau bunga-bunga dikata harum mewangi
Kau bisa lebih semerbak harum mewangi
Kalau tumpukan sampah dikata busuk
Kau bisa lebih busuk dan menjijikkan
Yah… Begitulah engkau
Terserah bagaimana kami mau merasa


Ekspresi…

“Rasa, Dan Ternyata Terserah Kita” Banyak yang bilang, jika sebuah rasa telah terlanjur ada lalu bersarang didiri kita maka akan begitu sulit untuk kita lawan apalagi kita buang. Dan dari ini jugalah mungkin banyak orang yang terlarut dan berlama-lama dalam sebuah rasa, baik rasa senang atau tidak, orang akan sulit “ bangun” dari rasa itu.
Pembaca yang budiman, saya akan berbicara soal rasa, baik rasa senang atau tidak, namun saya akan lebih fokus pada rasa tidak senang/negativ. Mengapa? Sebab menurut saya rasa tidak senang/negativ inilah yang banyak menggerogoti ketegaran manusia hingga akhirnya mereka rapuh lalu kemudian patah dan jatuh, terkesan menjadi manusia tanpa gairah, waktu banyak tebuang, pikiran banyak terkuras hanya karena sebuah rasa.

100% teori atau komentar saya ini mungkin tidak ilmiah, karena memang ini hanya buah pikir saya yang bisa dibilang seperti kurang kerjaan dan suka mengada-ada. Namun tidak masalah kan jika saya berbagi pada anda pembaca tentang rasa yang ini juga karena rasa.

Rasa.. Sebenarnya tidak sulit untuk melawan, merubah atau membuangnya karena rasa sebenarnya tidak punya apa-apa, tidak punya daya, dia hanya numpang saja didiri kita itu pun dia ada juga karena kita. Kita yang punya, kenapa harus sulit mengusirnya atau membuangnya? Asal kita mau kenapa tidak?! Jangan beranggapan kalau sebuah rasa itu begitu kuat hingga kadang kita harus jadi korbannya, Bagaimana bisa? Jelaslah karena rasa itu ada dan akan muncul seperti apa itu karena dan tergantung kita.

Rasa… Muncul dari suatu faktor pendorong yaitu Anggapan atau Penyikapan kita terhadap suatu kejadian/hal. Dalam artian, sebuah rasa akan ada sesuai bagaimana dan seperti apa anggapan atau sikap kita terhadap suatu kejadian/hal, bukan bagaimana dan seperti apa bentuk kejadian/halnya, karena kejadian/hal datang tanpa membawa rasa akan tetapi kejadian/hal baru akan terasa/mempunyai rasa setelah kita sikapi atau tanggapi.

Menurut rumusan saya, proses rasa itu seperti ini:
Kejadian/Hal - Penyikapan/Anggapan Kita - Rasa Yang Kita Rasa

Kejadian/Hal




Rasa Yang Kita Rasa Anggapan/Penyikapan Kita
Positiv Positiv

Negativ Negativ


Jadi rasa yang kita rasa adalah hasil dari anggapan atau penyikapan dari diri kita sendiri terhadap apa yang terjadi. Jika anggapan atau penyikapan itu positiv maka rasa yang akan kita rasa positiv dan begitu juga sebaliknya. Perlu paparan?, baiklah kita angkat tema “Pengkhianatan Cinta” (cie… cinta lagi, cinta lagi…!!)
Saat kita mengetahui bahwa kita dikhianati oleh seorang kelasih, kebanyakan dari kita akan merasa tidak senang/negativ, alias rasanya sakit. Kenapa? Karena faktor pendorong (anggapan/penyikapan) yang ada diotak kita sifatnya negative. Otak kita bilang bahwa pengkhianatan adalah hal yang melecehkan, ya… Ini sebuah pelecehan, ini masalah harga diri, ini masalah tidak tahu diri, ini masalah kurang ajar!! Jadilah rasa dari pengkhianatan itu tidak senang/negativ, dan selama anggapan/penyikapan negativ tadi masih bertengger diotak kita maka selama itu jugalah rasa negativ itu akan ada, selama itulah pengkhianatan akan terasa menyakitkan, selamanya!! Tapi lain lagi jadinya jika faktor pendorong yang ada diotak kita positive. Otak kita bilang bahwa pengkhianatan tadi adalah hal yang berharga, karunia Tuhan yang tanpa kita pinta bahkan belum sempat kita berharap. karena dengan pengkhianatan kita akan tahu bahwa orang yang selama ini kita sayang tidaklah benar-benar sayang pada kita, semua yang dia tampakkan selama ini hanya kepura-puraan, setia pura-pura, tulus pura-pura, dan pura-pura lainnya, dan kini dengan pengkhianatan yang telah kita ketahui semuanya telah terbongkar, kedok aslinya kelihatan. Coba bayangkan! Bagaimana jadinya jika saja pengkhianatan ini tidak pernah terbongkar? Kita akan terus menyayangi orang yang sebenarnya tidak sayang, mencintai orang yang tidak cinta, kita akan hidup bersama dengan cinta dan kasih sayang yang diberikan dan ada hanya karena sebuah kepura-puraan. Apa iya kita mau hidup dengan semua kepura-puraannya, sementara memberikan yang setulusnya? Apa iya pantas kita terus-menerus mengaguminya, menghargainya dan menyayanginya, sementara dia tidak sebegitu pantas untuk dikagumi, dihargai dan mendapat kasih sayang kita? Karena apa yang kita berikan tidak sebegitu berarti dimatanya. Nah, bukankah pengkhianatan ini adalah karunia besar Tuhan pada kita? Agar kita tidak terus-terusan tertipu, tidak terus setia percuma, tulus percuma, berkorban percuma, agar kita tahu siapa dan seperti apa sebenarnya dia orang yang selama ini kita cintai. Kalau ini bukan kebaikan/nilai positiv bagi kita lalu apa namanya? Lalu mengapa kita harus menangis?, untuk apa kita merana, berlama-lama dalam kekecewaan dan kedukaan yang sebenarnya itu hanya disebabkan oleh anggapan kita saja? Buang-buang waktu dan energi, toh semua itu juga tidak akan menyelesaikan mesalah.
Tersenyumlah, cerialah, semuanya insya Allah akan baik-baik saja, malah mungkin akan lebih baik.

Berapa tahun yang lalu, saya pernah tidak naik kelas 2 tahun berturut (wdh…buka kartu nih, ternyata ad-Dlo’ify mantan gak naik kelas, malu-maluin gak ya?) Saat itu ada teman yang bertanya: “ Kamu kok masih betah? Sedangkan kamu sudah tidak naik 2 tahun berturut? Padahal kebanyakan anak-anak yang tidak naik 1 tahun saja sudah tidak tahan lalu berhenti karena merasa malu. Apa kamu tidak malu? Padahal tidak sedikit anak-anak yang kenal kamu”. Aku bilang pada temanku: “Kenapa aku harus berhenti? Kenapa harus malu? Lah tidak ada yang memalukan dengan tidak naik kelas. Aku tidak beranggapan tidak naik adalah hal yang memalukan, suatu musibah, malah sebaliknya aku beranggapan tidak naik adalah anugerah untukku, biar aku tahu bahwa aku msih banyak kekurangan, aku belum pantas untuk naik. Aku bersyukur, karena dengan ini aku sadar bahwa masih banyak yang harus aku koreksi didiriku dan pada usahaku. Coba pikir, bagaimana jadinya, jika anugerah ini tidak pernah datang, sedang aku terus dan terus naik, padahal sebenarnya untuk kelas yang sebelumnya saja aku masih begitu banyak kekurangan, masih banyak yang belum aku tahu, belum aku mengerti? Bukankah yang memalukan itu jika kita yang masih begitu banyak “kurang tahu” tapi terus naik? Bukankah yang memalukan itu jika kita karena tidak naik kelas terus berhenti? Padahal itu kan memang sudah selayaknya, seharusnya malah. Lagipula berhenti tidak akan menghilangkan rasa malu, malah akan lebih memalukan karena kita tidak mau dan lari dari kenyataan yang mungkin jika kita mau mengoreksinya dengan baik akan menjadi suatu kebaikan pada diri kita. Coba pikir, jika yang kita inginkan hanya naik dan naik terus, tidak mau akan tidak naik cuma karena merasa itu adalah hal yang memalukan, akan jadi apa nasib kita nanti? Apa iya kita mau jadi balon besar sedikit anginnya? Atau bak besar sedikit airnya?” Enjoy saja… semuanya insya Allah akan baik-baik saja, lalu untuk apa aku malu terus berhenti? Lah aku tidak beranggapan itu adalah hal yang memalukan, dan aku pikir orang yang cukup bijak juga akan sependapat denganku”.

Pembaca, begitulah mungkin menurut saya gambaran tentang proses munculnya rasa dan mengapa rasa itu bisa seperti ini dan itu. Jadi jika mungkin kini kita sedang terlarut dalam kekecewaan dan kedukaan cepatlah bangun, dapatkan rasa yang indah tentram bersahaja, cerialah kembali.., tersenyumlah lagi.. jangan sampai hancur karena rasa. Tidak usah membunuh rasa itu, tapi gantilah faktor pendorong yang ada diotak kita yang saya sebut itu anggapan/penyikapan dengan faktor pendorong yang lain yang bisa memicu dan mendatangkan rasa indah, karena rasa tidak perlu dibuang, dirubah, apalagi dibunuh, sebab ia akan mati sendiri jika faktor pendorong (anggapan/penyikapan) yang ada diotak kita sudah tidak ada. Satu bukti bahwa suatu kejadian/hal itu datang tanpa membawa rasa adalah: jika memang suatu kejadian/hal datang plus dengan rasanya seperti apa, maka semua orang yang ketimpaan pasti akan merasakan dan berkata yang sama tentang kejadian/hal tadi, tapi nyatanya dalam suatu kejadian/hal yang sama lain orang lain rasanya. Kenapa? Lagi-lagi karena anggapan/penyikapan masing-masing mereka tentang hal tadi tidak sama, makanya rasa yang dirasakan juga beda. Ada satu lagi, kita yang telah lama dalam sebuah rasa dari suatau kejadian/hal kadang akhirnya berubah, rasa yang kita rasa berubah, datang rasa baru dan berakhirlah rasa yang sebelumnya. Nah, lalu apa kalau bukan anggapan/penyikapan kita yang telah berubah, toh kejadian/halnya tetap yang dulu? Pembaca, tetaplah untuk selalu berusaha berpikir positiv, menyikapi dan menanggapi dengan nilai positiv agar rasa yang kita rasa juga positiv.

HANYA RASA, DAN TERNYATA TERSERAH KITA, YA… TERSERAH BAGAIMANA KITA MENYIKAPI DAN YANG MAU MERASA.










“Sesadar-sadarnya, ini mungkin hanyalah teori atau komentar “murahan” yang dilakukan oleh orang yang sepertinya kurang kerjaan, juga mungkin kurang bahkan hampir keseluruhan isinya tidak ilmiah, tapi kan bukan berarti pasti salah lalu kemudian tidak bisa diterima”.


The Clas Five
Bait-Bait Serial “Alif”

BUAT ADEKKU SHOLIHAH
(Sebelum Serial)

Sholihah adekku, ini aku Salwa mbakmu
Kamu ngerti kenapa Nisa ndak lagi berjilbab
Itu sebab dia ngikutin mbakmu ini
Mungkin Nisa pikir aku ini kamu
Kamu ndak usah ngikutin
Bilang padanya, aku ini Salwa bukan Sholihah
Karena jilbab itu keanggunannya

Sholihah adekku, ini aku Salwa mbakmu
Kamu ngerti kenapa Nisa ndak lagi santun lemah-lembut
Itu sebab dia niru mbakmu ini
Mungkin Nisa pikir aku ini kamu
Kamu ndak usah niru-niru
Bilang padanya, aku ini Salwa bukan Sholihah
Karena santun lemah-lembut itu keindahannya

Sholihah adekku, ini aku Salwa mbakmu
Kamu ngerti kenapa Nisa senang digoda pun menggoda
Itu sebab dia ngiri pada mbakmu ini
Kamu ndak usah ngiri
Bilang padanya, aku ini Salwa bukan Sholihah
Karena kehormatan dan ketulusan itu jati dirinya

ALIF
(Pembuka)

Aku terpesona pada Alif
Ia polos tak banyak gaya
Ia lugu tak banyak tingkah
Tegak lurus tak bengkok-bengkok
Ia sederhana tapi diurutan terdepan

Aku kagum pada Alif
Ia mau mengisi dan mengalah
Tak sombong jika dibutuhkan
Tahu diri jika memang tak diperlukan
Aku kagum, ia lembut…
Menerima jika disalahkan
Tak bangga jika dibenarkan

Aku iri pada Alif
Ia tak miliki nada, tak miliki suara
Tapi dapat buat yang lain berirama indah

Aku salut pada Alif
Ia tegar tak mau bersandar
Tak kikir bila ada yang ingin bersandar
Ia tak berubah sebab kedudukan
Di belakang tetap begitu
Di depan tetap seperti dulu

Ya … aku suka pada Alif
Kedatangannya tak hapus suka
Kepergiannya tak tinggalkan duka

PUDARNYA HIKAYAH ALIF
(Serial 1)

Dulu aku kagum padamu Alif
Karena kata orang kau begini-begitu
Kau seperti ini dan sepeti itu
Bisa begini dan begitu
Itu dulu…

Tak salah kata orang “Pikiran bisah berubah”
Tak salah ada yang bilang “Kata adalah mainan lidah”
Tak salah ”Manusia makhluk yang pandai berpura”
Ternyata kau juga tak jauh beda dengan mereka

Mana hukum Tuhan yang pernah kau kata dulu?
Mana sikap suci yang pernah kau tampakkan dulu?
Mana hukum dan sikap yang dulu katanya milikmu?

Aku kecewa padamu Alif
Aku kan sudah bilang, hati-hati dengan katamu
Bukan aku tak percaya, tapi sikapmu buat aku ragu
Bukan aku mengingkari, tapi kata-kata itu bisa jadi bomerang padamu
Itu saja… Tak lebih!


ALIF SUDAHLAH
(Serial 2)

Alif…
Tak usah kau memaksa tuk bicara
Karena diammu adalah anugerah
Tak usah kau bersura dan berfatwah
Karena aku tak silau dengan kata-kata
Tak perlu kau berekspresi dan berderama
Karena aku sudak faham, terlalu sering aku melihatnya

Alif…, Alif
Untuk apa kau jabarkan hukum-hukum yang sudah aku tahu itu?
Tak perlu..!
Sudah banyak para orator dan penceramah baru
Yang penting itu sikapku, sikapmu
Kesungguhanku, kesungguhanmu pada semua itu

Untuk apa kau tata sekenario untuk derama yang sudah aku mengerti itu?
Tak baik...!
Sudah banyak para sutradara dan aktor-aktor baru
Yang baik itu apa adanya aku, apa adanya kamu
Kejujuranku, kejujuranmu pada semua itu

Alif…, Alif
Kalau begini siapa yang malu?
Aku kan sudah bilang, aku bukan tidak tahu
Malah justru karena aku sudah faham dan tahu
Tapi kau maksa untuk mendakwahiku

Alif…, Alif
Dan sekarang kamu tidak malu padaku?
Aku kan sudah kasih tahu, aku bukan tak pernah lihat derama
Malah justru aku sudah mengerti sekenario dan seperti apa nanti alur ceritanya
Tapi kau maksa untuk mengkelabuhiku

Alif…, Alif, sudahlah…
Aku bukan tidak tahu tapi sengaja berpura dungu
Aku bukan tidak berpedoman tapi sengaja bergaya plin-plan
Alif, sudahlah…
Aku sudah tahu..!


ALIF ENGKAULAH KATA MEREKA
(Serial 3)

Alif..
Engkaulah kata mereka si batang lurus tak lemah
Lalu kemana mereka akan mencari sosok tongkat jika engkau pun sudah lapuk, bengkok lalu patah
Engkaulah kata mereka si tiang penyangga tegak kokoh
Lalu kemana mereka akan mencari sosok sandaran jika engkau pun sudah rapuh, bengkok kemudian roboh


Alif..
Engkaulah kata mereka si pendiam berwibawa
Lalu kemana mereka akan mencari sosok disegani jika engkau pun sudah cerewet, banyak bicara
Engkaulah kata mereka si tenang jauh dari kebisingan
Lalu kemana mereka akan mencari sosok damai jika engkau pun sudah berteriak, bersorak-sorakan

Alif..
Engkaulah kata mereka si rendah hati walau terdepan
Lalu kemana mereka akan mencari sosok pengalah jika engkau pun sudah tak mau kalah pasang keengkuhan
Engkaulah kata mereka si dermawan walau pas-pasan
Lalu kemana mereka akan mencari sosok belas-asih jika engkau pun sudah pelit, gila kekayaan


ALIF INI AKU HAMZAH
(Serial 4)

Alif…
Ini aku Hamzah yang kau kata tak punya pendirian
Kau sindir, sebab kadang aku berkata A, I, U
Tak seperti kau yang selalu kukuh membisu
Tak apalah bagiku kau berkata begitu
Namun sudahkah kau tanya dirimu
Kau membisu karena tak ingin bicara atau karena tak bisa
Atau malah sebenarnya menggebu-gebu keinginanmu untuk juga berkata-kata

Ini aku Hamzah yang kau anggap banyak gaya
Kau mencibir, sebab kadang aku bersenandung A, I, U
Tak seperti kau yang tak pernah berirama syahdu
Tak apalah bagiku kau menganggap begitu
Namun sudahkah kau tanya dirimu
Kau tak berirama syahdu karena tak ingin bergaya atau karena tak bisa
Atau malah sebenarnya itu caramu agar yang lain penasaran lalu tergoda

Ini aku Hamzah yang kau bilang banyak tingkah
Kau sinis, sebab kadang aku diatas dan dibawah
Tak seperti kau yang terus tegak-lurus
Tak apalah bagiku kau bilang begitu
Namun sudahkah kau tanya dirimu
Kau begitu karena tak ingin bertingkah atau karena tak bisa
Atau malah sebenarnya agar semua mata tertuju padamu sebab cuma kau yang begitu

Alif…
Ini aku Hamzah yang kau kata begini-begitu
Terserah nanti sajalah..siapa yang lebih baik diantara kita
Atau sebenarnya kau dan aku sama


JANGAN SALAH ARTI ALIF
(Serial 5)

Jangan salah arti Alif
Tak niat bersumpah-serapah pada prinsipmu
Hanya mau katakan prinsip itu butuh pembuktian
Bukan dalam alunan irama kata
Tapi pada disetiap dimana kaki diinjakkan
Pada setiap dimna nafas dihembuskan
Karena alunan kata siapa juga bisa ucapkan
Selama lidah masih tetap tak bertulang

Jangan salah arti Alif
Tak bermaksud pathkan tulang lurusmu
Hanya mau sampaikan lurus itu bukan dikeramaian
Tapi juga disetiap kesunyian dan kesendirian
Disetiap bisik hati dan denyut nadi
Karena dikeramaian siapa juga bisa membalut diri
Selama rasa masih terus ditutup-tutupi

Jangan salah arti Alif
Tak ada niat dan maksud lebih
Hanya mau bersimpati atau sekedar berbagi
Jika mungkin kini kau sedang lupa diri


ALIF TETAPLAH…
(Penutup)

Alif…
Tegak lurus tak banyak gayamu buat aku kagum padamu
Tetaplah begitu…
Jangan pernah semilir angin buatmu bengkok melambai-lambai
Agar aku tak percuma pernah mengagumimu

Alif…
Diam tak banyak tingkahmu buat aku terpana padamu
Tetaplah disitu…
Jangan sampai kicau burung buatmu jua menyanyi-menari berjingkrak kesana-kemari
Agar aku tak kecewa pernah terpana padamu

Alif…
Polos, murah hati dan tahu dirimu buat aku terpesona padamu
Tetaplah seperti dulu…
Jangan sampai tingginya langit dan gemerlap bintang-bintang buatmu terbang dan terus mendongak
Agar aku tak menyesal pernah terpesona padamu

Alif…
Tetaplah begitu, disitu dan seperti dulu…
Atau jika tidak enyahlah engkau dari hadapku
Jangan pernah lagi mengaku dirimu Alif
Agar aku tidak muak melihatmu

Alif tetaplah…
Jangan buat kami kecewa


The Clas Six
Senandung Rasa

ABDUL …

Hei, Abdul …
Kau bilang kau tak suka suara ini
Aku bilang, buat lagu sendiri
Memangnya kau siapa?
Bisa apa?

Kau bilang kau tak suka alur cerita ini
Aku bilang, buat cerita sendiri
Memangnya kau siapa?
Bisa apa?

Kau bilang kau tak suka bait puisi ini
Aku bilang, buat puisi sendiri
Memangnya kau siapa?
Bisa apa?

Abdul …, Abdul …
Sudahlah jangan banyak tingkah
Dengarkan, ikuti dan hayati saja
Memangnya kau siapa?
Bisa apa?


MENGERTILAH

Salahku apa…
Kenapa aku tak pernah benar dimatamu
Kenapa aku selalu kurang menurutmu
Kenapa kau selalu acuh padaku

Maumu apa…
Mengapa yang kuberikan tak ada yang cocok padamu
Mengapa pikiranku tak pernah searah denganmu
Kenapa kau tak mau hargai aku

Engkau ini kenapa sih…
Hadirku kau benci
Kasabaranku kau maki
Kepercayaanku kau khianati
Kasih sayangku kau salah arti
Mengapa kau tak mau hargai aku

Cobalah kau hargai aku sedikit saja
Agar kau sadar siapa dirimu
Cobalah kau dengarkan aku sekejap saja
Agar kau tahu siapa aku
Dan cobalah lihat aku sebentar saja
Agar kau mengerti siapa dirimu dan siapa aku
Jangan acuh begitu


KHAYAL

Dalam khayal kadang aku begitu tahu
Dalam khayal kadang aku temukan
Dan, dalam khayal kadang aku begitu tolol

Saat aku hadirkan …
Akan ada kau dan aku
Akan ada dia dan mereka
Namun, akhirnya yang ada aku jua

Aku sadar …
Kau dan dia tak ada
Apalagi mereka …!
Yang ada hanya aku dan khayal

Kucuba hadirkan lagi …
Tak ada apa-apa aku tanya mengapa
Tak ada apa-apa aku kata andai saja
Dan, ternyata bukan semua itu

Andai saja …
Kalau saja …
Jika saja …
Apa semua ini …!
Tak perlu aku usut dan cari tahu
Jika ujug-ujungnya jua aku


JANGAN BEGITU…!

Ramai-ramai orang memujiku
Katanya, ada yang lebih padaku
Ramai-ramai orang mengejekku
Katanya, ada yang kurang padaku
Aku bilang, “jangan begitu …!”
Bertanyalah dulu padaku
Baru setelah itu, katakanlah tentangku
Sebab kalian tak lebih tahu dariku

Ramai-ramai orang menanyaiku
Katanya, aku banyak tahu
Ramai-ramai orang memintaiku
Katanya, aku banyak punya
Aku bilang, “jangan begitu …!”
Bekerjalah sendiri dulu
Baru setelah itu, datanglah padaku
Sebab kalian tak lebih rendah dariku

Ramai-ramai orang menyalahkanku
Katanya ada yang keliru dariku
Ramai-ramai orang menuntutku
Katanya, ada yang tak bijak dariku
Aku bilang, “jangan begitu …!”
Koreksilah lagi dulu
Baru setelah itu, adili diriku
Sebab kalian tak tentu lebih benar dariku


ITU UTUSAN UNTUKKMU

Kalau kau diberi sangsi
Kau bialang kau dibenci
Padahal itu utusan untukmu

Kalau tak ada angin tak ada hujan kau dibuat menangis
Kau bilang kau dibenci
Padahal itu utusan untukmu

Kalau susah-payahmu seakan tak dihargai
Kau bilang kau dibenci
Padahal itu utusan untukmu

Kalau kau selalu dituruti
Kau bilang kau dicinta
Padahal itu utusan untukmu

Kalau kerjamu diberi upah
Kau bilang kau dicinta
Padahal itu utusan untukmu

Kalau jalanmu lurus-mulus
Kau bilang kau dicinta
Padahal itu utusan untukmu


KAPAN KAU KAN BERTERIMA KASIH?

Jika pahit kau mual, kau muntahkan
Jika manis kau serakah kekurangan
Jika sendiri kau sedih sesungutan
Jika diberi teman kau marah kebisingan
Lalu kapan kau kan berterima kasih?

Jika panas kau menggerutu takut sakit
Jika hujan kau cari tempat panas
Jika siang kau rindukan rembulan
Jika malam gelap kau ingin segera siang
Lalu kapan kau kan berterima kasih?

Jika dimanja kau ingin mandiri
Jika dibiarkan kau minta dikasih
Jika diberi upah kau kata tak mau pamrih
Jika tak digaji kau menagih
Lalu kapan kau kan berterima kasih?




KAU HANYA MENEMANI SAJA

Mereka mengata-ngataimu goblok
Padahal mereka disana itu tuh yang goblok
Kau kan hanya menemani saja
Mereka mengata-ngataimu gila
Padahal mereka disana itu tuh yang gila
Kau kan hanya menemani saja

Mereka mengata-ngataimu gini-gitu
Padahal mereka disana itu tuh yang gini-gitu
Kau kan hanya menemani saja

Mereka mengata-ngataimu kesini-kesitu
Padahal mereka disana itu tuh yang kesini-kesitu
Kau kan hanya menemani saja

Aku tak mau ikut-ikutan
Kau kan tak salah
Aku disini saja
Kau kan tak kemana-mana


DUNIA, OH… MIMPI

Dunia
Kehidupannya
Kesenangannya
Kesengsaraannya
Isinya
Apa sebenarnya dibalik semua?

Kalau dunia hanyalah bayang semu
Hanya berisi mimpi-mimpi
Bukankah semua itu hanya ilusi?
Berisi kisah perjalanan tidur sejenak
Berakhir jikala bangun nanti

Mimpi, oh… dunia
Apalah arti semua tragedi mimpi
Sedang bangun adalah kenyataan
Berisi dua tempat haqiqi
Satu jembatan meniti

Dunia, oh… mimpi
Adakah yang sadar rela akan dan demi mimpi
Hanya sediakan suatu yang tak pasti, pun misteri


TAK BENAR KUHENTIKAN LANGKAH INI

Lelah aku berjalan…
Namun tak benar kuhentikan langkah ini
Lelah aku menatap…
Namun tak benar kupejamkan mata ini
Lealah aku mendengar…
Namuntak benar ku tutup telinga ini
Lelah diriku…
Namun tak benar aku diam pun tidur

Aku Tanya mereka
Mereka berkata, mereka pun lelah
Aku Tanya, kenapa tak berhenti?
Mereka jawab, berhenti tak benar
Ternyata mereka pun jua sama

Tak seorang pun yang suka akan derita
Tapi siapa yang bisa cipta bahagia
Tak ada yang sudi tuk menangis
Tapi siapa yang bisa buat ketawa

Lelah aku sengsara
Lelah aku tertatih
Lelah aku bersedih
Namun tak benar aku mengeluh, menggerutu


AKU TAK BEGITU PERCAYA PENA INI

Orang bilang, pena ini tuk ungkap kejujuran
Tapi aku tak yakin pena ini
Kadang saat aku benci, yang ia tulis sayang
Kadang saat aku tak suka, yang ia tulis cinta
Kadang saat aku ketawa, yang ia tulis duka
Kadang saat aku biasa-biasa, yang ia tulis begini-begitu

Aku tak begitu yakin pena ini
Orang bilang, pena ini tuk ungkap kesungguhan
Tapi aku tak yakin pena ini
Kadang gampang sekali ia tulis sabar
Padahal hati begitu sulit
Kadang gampang sekali ia tulis ta’at
Padahal hati begitu rumit
Kadang gampang sekali ia tulis ikhlas
Padahal hati begitu pelit
Kadang gampang sekali ia tulis ini-itu
Padahal hati tak seperti begini-begitu
Aku tak begitu yakin pena ini

PADAMU TANAH

Padamu tanah aku ucapkan maaf
Karena telah begitu lama aku injakkan kaki kotorku
Begitu lama kujamah kesucianmu dengan tangan jahilku
Begitu lama engkau kubisingkan dengan kata-kata dusta dan teriakan-teriakan angkuhku
Begitu lama kau pikul aku hanya sekedar untuk tertawa-tawa dan bersuka-rianya nafsuku
Berkali-kali aku cium engkau dengan hidung dan kening buramku
Dan akhirnya engkau pun harus menyimpan bangkai dan tulang-belualang busukku

Padahal di atasmulah dulu Adam menginjakkan kakinya demi sebuah ampunan
Di atasmulah dulu Siti Hajar mengaiskan tangan lembutnya demi seteguk air putranya
Di atasmualah dulu Nuh ratusan tahun bersimpuh dan serukan ke-Esaan
Di atasmulah dulu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali berkorban demi tegaknya agama
Di atasmulah dulu Muhammad dan Shohabah ciumkan keningnya demi suatu pengabdian
Dan padamulah dulu para Ambiya’, Syuhada’, Auliya’ dan Ulama’ disemayamkan
Padamu tanah aku ucapkan maaf…

Namun padamu tanah aku juga menaruh setitik harapan
Mohon saksikanlah…
Bahwa aku juga pernah mencoba untuk melangkah seperti mereka
Bahwa aku pernah mencoba bertakbir, berdzikir seperti mereka
Dan bahwa aku pernah mencoba rela jatuhkan keningku untuk suatu pengakuan dan pengabdianku seperti mereka
Mohon saksikanlah…
Walau semuanya hanya dengan suara dan gerakan-gerakan kosong
Agar aku nanti juga bisa bersama-sama dengan mereka


HARAPAN I

Berlari-lari aku mengejarnya
Kelihatan begitu dekat ia padaku
Tapi, telah ribuan kilo …
Ribuan langkah …
Dan tak tahu berapa benyak hembusan nafas
Tak jua aku bertemu

Mungkin pelitaku redup
Telapak kakiku kerap tergelincir
Tongkatku tak kupegang erat
Ragaku jadi istana ulat-ulat
Dihuni ular-ular berbisa
Kotor oleh debu jua lumpur
Dibasuh dengan semuara air tuba

Kupaksakan tetap melangkah …
Mencari danau sejuk mewangi
Karena pakaianku telah penuh bercak
Diriku pun hampir membusuk


HARAPAN II

Sejauh aku memandang
Sejauh aku melangkah
Sejauh aku berhasrat
Sejauh itu jua anganku terbang
Kesana-kemari tak henti

Dulu aku menatap …
Tapi kini tinggal tatapan hampa
Dulu anganku telah melayang tinggi jauh
Sampai kini aku tetap di awang tanpa lesu
Entah sampai kapan aku kan mengambang
Hingga aku kan berpegang pada sebuah tiang
Keraton telah terbuka diatas sana
Namun aku tak miliki tangga tahta
Kian banyak yang terbang kesana
Tetap saja aku terpaku tak tahu arah
Aku masih terus menatap …
Hingga esok …
Nanti atau kapan …
Kan kudapatkan sayap tuk kesana


TAK BENAR KATA MEREKA

Betulkah katanya, hanya ada derita disana
Aku coba berlari ke pantai …
Temani pasir yang kesepian
Menyelam kedasar lautan, cari mutiara impian
Menyenangkan …
Banyak keindahan hingga aku tak sadar
Meski untuk kesana mesti kedinginan oleh air luas menghampar
Hangatkan nurani menembus arus yang memaksaku tuk keluar

Aku sengaja berjalan ke lereng-lereng gunung …
Dengarkan burung yang berkicauan
Daki tingginya puncak, tatap keindahan dari ketinggian
Kendati untuk kesana harus kehausan, kelelahan
Kuatkan hati melawan kencangnya angin yang menggetarkan
Dan …
Semua haus, semua lelah sirna terkubur bahagia
Basah keringat kering sudah tertiup semilir angin
Musnah semua kebimbangan bersama kedamaian disana
Telah kutemukan, tak benar kata mereka
ebab disana tersimpan ribuan, juataan bahkan tak tahu berepa banyak kesenangan
Yach…kesenangan bagi para penderita, para penyengsara


JALANKU

Cukup lama aku tertatih
Kuhampir tak berdaya
Tujuanku masih jauh
Baru satu pos aku lalui
Sejenak aku menoleh ke belakang …
Nampak begitu banyak bekas telapak kakiku

Aku masih tetap berjalan
Kulihat ke bawah, tanah yang kuinjak basah oleh peluh
Aku merenung…
Tetes keringatku kian banyak, tapi kenapa kelopak bunga tak jua mekar

Pos itu kini kian dekat
Mengapa langkahku masih kesana-kemari?
Aku memandang jauh ke depan sana …
Jalan yang kutempuh tak tampak

Letih …
Kuharus rubah arah
Tapi kemana …?
Bodoh …!
Mengapa aku lupa kalau aku punya peta
Jalan lurus …
Ya…, jalan lurus yang harus kulewati


MAAFKU

Malam ini dunia jadi saksi cerita
Malam ini bibir-bibir tersenyum bahagia
Walau aku disini, tak berada disisinya

Maafku …
Yang kuresahkan bukan kenikmatan
Maafku yang hanya terucapkan
Andai aku seperti mereka disana
Mungkin kutakkan redup, tak membisu merana

Kini takbir, tahlil dan tahmid terus menggema
Sirami kering dan gersangnya hati yang tersembunyi
Tak kuasa air mata pun jatuh iringi luluhnya hati

Maafku …
Mestinya …
Mestinya esok kuhaturkan maafku dibawah telapak kakimu
Bukan maaf yang kukirim lewat merpati itu
Ya …Rabb, bukan aku mengabaikan
Hamba-Mu hanya berjalan bersama keadaan


KURINDU MALAMKU

Malamku indah
Bintang-bintang bermain mata
Rembulan tersenyum bahagia
Walau awan sedikit tak bersahaja

Malamku indah
Bibir bergetar enggan berhenti
Hati tertunduk malu berdiri
Meski sajadah kian basah

Malamku indah
Langit, bumi hanya terpaku
Burung-burung cuma membisu
Malu tuk mengusik yang sedang mengadu

Oh malamku …
Seberkas cahaya kini kian membaur
Bertanda akan datangnya sang raja timur

Malamku indah…
Kuingin segera kembali bertemu
Karena dikedalaman malamku kutemukan mutiara kalbuku

AKU CINTA

Cinta …
Akan kuucapkan kata
Hanya sekali ini saja
Takkan kuucapkan lagi
“Aku cinta”

Cinta …
Akan kuungkap rasa
Hanya sekali ini saja
Takkan kuungkapkan lagi
“Aku cinta”

Cinta …
Akan kupilih kasih
Hanya sekali ini saja
Takkan kupilih lagi
“Aku cinta”

Cinta …
Akan kuberikan cinta
Hanya sekali ini saja
Takkan kuberikan lagi
“Aku cinta”

Cinta …
Hanya sekali ini saja
Takkan ada lagi
“Aku cinta”



TIADA CINTA

Cintaku tiada ditelan pelarian
Cintaku tiada ditelan kejasaan
Cintaku tiada ditelan kesungkanan
Tak ada cinta, yang ada kepura-puraan

Cintaku tiada ditelan rupa
Cintaku tiada detelan harta
Cintaku tiada ditelan nama
Tak ada cinta, yang ada ke tak abadian
Cintaku tiada ditelan permintaan
Cintaku tiada ditelan desakan
Cintaku tiada ditelan keadatan
Tak ada cinta, yang ada keterpaksaan

Cintaku tiada ditelan kesepian
Cintaku tiada ditelan pengalaman
Cintaku tiada ditelan pergaulan
Tak ada cinta, yang ada keasik-asikan

Cintaku tiada ditelan pengobralan
Cintaku tiada ditelan kebirahian
Cintaku tiada ditelan kedendaman
Tak ada cinta, yang ada kepuasan


SIA-SIA

Kini aku tahu …
Yang kusayang kan menghilang
Kini aku sadar …
Yang kucinta tak selamanya ada

Walau seakan aku mampu tuk temanimu sepanjang waktu
Apalah jua arti jika kau hanya menatapku secepat itu
Walau seakan setiap hembusan nafasku hanya untukmu
Mungkinkah berarti jika kau tak mampu berikan hatimu

Kini aku kesepian …
Kini aku kehilangan …
Kini aku ditinggalkan …

Kini telah kau sia-siakan
Yang mereka sebut ketulusan
Yang mereka anggap kesucian
Walau terkadang tersisip nafsu setan


BAYANG SEMU

Ingin lewatkan kesenduan dengan senyuman
Lupakan keresahan dengan canda-canda
Tak jua pergi …
Tegar bak tugu besi

Kutunggu tetes embun itu …
Mengisi hari-hari dengan syair sang bayu
Tapi, hanya mendung yang selimuti mentari
Bukan rintik hujan yang menyirami

Ku bawa berlari …
Ku bawa pergi …
Tetap saja bayang semu berdiri


DINDA

Lama sudah aku bermimpi
Jauh sudah aku menari-menyanyi
Bersamamu kepakkan sayap-sayap indah

Kita ukir kata…
Disetiap pohon kita bersandar
Kita tulis cerita…
Disepanjang pasir pantai yang kita injak

Dinda…
Pohon itu telah lapuk dimakan rayap
Kata-kata yang kita ukir rusak…
Pasir di pantai itu telah dikikis ombak
Cerita yang kita tulis terhapus lenyap …

Dinda…
Ini bukan salah rayap dipohon itu
Ini bukan salah ombak laut di pantai itu
Kita salah mengukir kata dan menulis cerita itu

Dinda…
Tak perlu ada tangis tak perlu ada duka
Biarlah…
Jika nanti kita diberi kesempatan sekali lagi
Tak usah lagi kita ukir dan tulis lagi disana
Kita peluk dan bawa bersama sepanjang masa





SEPARUH JIWA

Kini aku masih disini menatap langit tinggi
Kini aku terus berlari menjauh dari mimpi
Terlalu cepat engkau pergi terlalu berat semua ini
Terasa takkan mampu kuhadapi
Mungkinkah cerita cinta kan musnah bersama kenangan indah
Namun ku pun takkan rela bila cintaku harus tersiksa
Wahai kau yang dulu sayangi aku yang dulu mengerti aku
Hanyakah secepat ini cinta yang kau berikan padaku
Mungkinkah inilah cinta yang kau puja separuh jiwa