Komplin

Ad-Dlo’ify Bukanlah Siapa-Siapa..
Dia Hanya Seorang Yang Ingin Mencoba..
So, Selebihnya Terserahlah..
…………………………………………………………………

WARNIG…!
“Saya tidak memberikan idzin kepada siapa saja untuk menggunakan sepatah-duapatah kata yang ada disini untuk sesuatu yang tidak islami. Saya sudah terlalu banyak dosa, jadi tolong jangan ditambah lagi dengan sebab sepatah-duapatah kata disini”.
…………………………………………………………………………………..

Judul : KomPlin (Kata Orang Merasa Perihatin Lingkingan)
Intermizo : R.H. Moh. Thohir Zain
Penyusun : Ad-Dlo’ify
Sampul : Ad-Dlo’ify
Kategori : Komentar
Bentuk : Buku Mini
Status : Sudah Dicetak
Hak Cetak : M2KD & Shohib Ghurfah al-Malikie


FROFIL GHURFAH AL-MALIKIE


1. al-Malikie: Nama suatu ghurfah di area perrkampungan Kampoeng M2KD Ponpes MUBA.

2. al-Malikie: Ghurfah yang sulit di-”lunakkan”. Bagaimana tidak, jika didalamnya terdapat Gus Jie (Omben terus dioper ke Surabaya) dan Husain Mushannif (Proppo) yang punya karya MIFTAHAIN (Miftahul Qalb & Miftahun Najah) pas dengan kebiasaannya yang tidak bisa jauh dari kitab.

3. al-Malikie: Ghurfah yang di-“segani”, karena disana ada seorang Ghazali (Bicorong-Pakong) yang tak banyak bicara namun berhati lembut, dan ad-Dlo’ify (Manggar-Belitong, lalu semedi ke Bawean-Gresik) yang “sensitive”, kasar dan sok kritis kalau berpendapat (ya.., ala-ala komentator gitulah..) sehingga banyak warga yang “malas” ke al-Malikie.

4. al-Malikie: Ghurfah yang disukai. Bagaimana tidak, jika didalamnya terdapat Ma’jun (Sumenep) yang kocak humoris, sehingga al-Malikie sering menjadi tempat bagi warga yang sedang stres, Abd. Hamid (Jember), Muttaqin (Proppo), dan Fauzun (Pademawu) yang manis-manis, makanya banyak warga yang suka bertandang ke al-Malikie.

5. al- Malikie: Ghurfah yang cukup disiplin, karena didalamnya dihuni oleh Mas Juned (Kokop-Bangkalan), dan Abd. Ghafur (Idaman Tanjung-Sampang), yang disiplin waktu makanya warga tak berani mengganggu “kegiatan-kegiatan” al-Malikie.

6. al-Malikie: Ghurfah yang paling lengkap di Kampoengnya. Bagaimana tidak, jika urusan korek api, rokok, kopi, camilan dan air minum saja warga selalu “merujuk” ke al-Malikie tak terkecuali wakil dan ketua area Kampoengya.


ALA BEGO’ GUE



Untuk kali pertama aku bertanya pada orang-orang yang berkata: “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”, alias tak indah. Aku bertanya: “Kenapa harus bagai taman tak berbunga, padahal kebun dan pohon yang berbuah lebih penting, dan bukankah pohon yang berbunga lebih cepat layu, kering lalu kemudian mati? Kenapa bukan bagai alam tanpa warna saja?”
Mereka tak menjawabku. Aku berpikir, mungkinkah cinta bagi mereka tidaklah penting? Atau mungkin karena mereka hanya punya dan merasakan cinta yang bersemi beberapa waktu, lalu layu, kering dan kemudian mati?

***

Untuk ke dua kalinya, aku bertanya pada sebagian orang yang yang selalu berkata: “Cinta tidak melihat dari segi fisik, tapi kebaikan hati, sebab cinta itu tulus suci-murni”. Aku bertanya: “Jika ada seorang yang baik hati tapi tampang biasa-biasa saja dan seorang yang tampangnya oke tapi berhati jahat, maka yang akan dipilih yang mana?”
Mereka menjawab: “ Jelaslah.. Yang akan dipilih yang baik hati, buat apa tampang oke tapi hatinya jahat?” Aku kembali bertanya: “ Jika keduanya sama-sama baik hati, cuma yang satu tampangnya biasa-biasa saja dan yang satu lagi oke, mana yang akan dipilih?”
Mereka tidak memberi jawaban. Aku brpikir, mungkinkah karena mereka takut cintanya akan disebut tidak suci-murni? Atau mereka mulai sadar kalau cinta yang mereka punya sebenarnya tidak sesuci-murni dan seagung apa yang mereka katakan?

***

Untuk ke tiga kalinya, aku bertanya pada sebagian orang yang berkata: “Cinta tak harus memiliki, tak harus dibalas, karena cinta kata mereka sudah cukup dengan cinta itu sendiri”.
Aku bertanya: “Mengapa ada rindu? Mengapa ada cemburu? Mengapa ada patah hati dan bunuh diri?”
Merekapun hanya diam. Aku berpikir, mungkinkah ini karena cinta yang berteori seperti yang mereka katakan bukanlah cinta seperti yang mereka miliki? Atau ini hanya teori yang dijadikan alasan ketika mereka tidak bisa memiliki orang yang mereka cintai atau sebut sajalah cinta mereka tidak mendapatkan balasan alias “bertepuk sebelah orang”.

***

Untuk ke empat kalinya aku coba bertanya pada sebagian penulis puisi dan novel: “ Kenapa mereka para penulis puisi dan novel lebih suka (tahu) menulis syair-syair dan cerita-cerita cinta?”
Mereka hanya senyam-senyum. Aku berpikir, mungkinkah dalam kehidupan mereka tidak ada yang berkesan yang mungkin dapat dituang dalam tuliasan kecuali masalah cinta? Atau ini karena hakikat cinta bagi banyak orang masih menjadi teka-teki, sehingga mereka bisa (berani) mengartikan serta mengekspresikan cinta sesuai selera mereka? Atau karena tulisan-tulisan tentang cinta jarang atau bahkan aman dari kritikan, karena lumrahnya para pembaca hanya akan bermimpi, tersenyum, menangis kemudian anguk-anguk? Atau karena tulisan-tulisan tentang cintalah yang kini lagi laris-manis dipasaran, karena kebanyakan para pembaca tidak lagi memikirkan penting dan tidak, baik dan tidak, mendidik dan tidak serta berkualitas dan tidaknya, yang penting dapat menghibur, asik dan sesuai dengan selera, sehingga para penulisnya tidak usah repot-repot mencari rujukan dan kebenarannya, cukup mencari ide dan menata alur-alur indah dalam syair-syair “bualan” dan cerita-cerita khayalan (bohong), ditambah dengan satu “pengaman”: “Warning! Cerita ini hanya fiktif?”, sekaligus mungkinkah karena tulisan-tulisan tentang cintalah yang sekarang bisa menjadi makanan empuk dan ladang bisnis para penulis?

***

Ke lima kalinya aku bertanya pada sebagian anak-anak pondok: “Untuk apa mereka ke pondok?”
Mereka menjawab: “Untuk menggali ilmu agama guna menjadi penerus pejuang syiar agama”. Aku berpikir, kalau memang itu yang menjadi tujuan, mengapa mereka hanya sibuk membaca, menulis dan mendalami buku-buku cerita dan lainnya? Mungkinkah karena bagi mereka buku-buku cerita dan lainnya lebih agamis dan lebih meyakinkan keabsahannya? Atau mungkinkah karena menurut mereka buku-buku cerita dan lainnya lebih menjanjikan dan memberi harapan untuk hari-hari yang akan datang di masa depan? Atau mungkinkah penulis-penulis buku cerita dan lainnya bagi mereka lebih luas pengetahuan agamanya dari para penulis-penulis kitab salaf sehingga tidak meragukan? Atau karena kitab-kitab salaf hanya merupakan hasil tulis orang-orang jadul., sehingga untuk zaman sekarang sudah tidak relevan, tidak seperti buku-buku sekarang yang cenderung lebih “toleran” akan keadaan dan kemauan (nafsu) orang-orang kini? Atau mungkin jugakah karena tujuan itu hanyalah tujuan dibibir saja? Aku tak tahu…

***

Ke enam kalinya, aku menindak lanjuti. Aku bertanya langsung pada sebagian anak-anak pondok yang sedang asik membaca “buku masa kini”: “Katanya, tujuan kalian ke pondok untuk menggali ilmu-ilmu agama, tapi mengapa yang kalian lebih suka baca, tulis dan dalami malah “buku-buku masa kini?”
Mereka menjawab: “Menggali ilmu-ilmu agama tidak harus dari kitab-kitab salaf, karena di zaman sekarang ilmu agama juga dapat diperoleh dari “buku-buku masa kini”. Aku berpikir, iya juga. Tapi bukankah sebenarnya merekapun bisa menyusun “buku-buku masa kini” itu, kalau saja mereka mau mendalami kitab-kitab salaf? Karena sebenarnya buku-buku itu adalah hasil belajar para penyusunnya dari kitab-kitab salaf. Mungkinkah karena buku-buku itu lebih gampang hingga tidak memakan waktu lama untuk memahaminya, sebut sajalah agar mereka bisa mendapatkan ilmu yang banyakdengan cepat, pintas? Atau karena mereka tidak bisa untuk membaca dan memahami kitab-kitab salaf, karena umumnya kitab-kitab salaf membutuhkan kepekaan, kejelian dan keuletan serta kesabaran? Atau mungkinkah ini semua karena mereka termasuk anak-anak pondok pemalas yang tidak mau bekerja keras, sebab sukanya (maunya) yang serba instan, walau akhirnya lupa akan tujuan? Aku masih tetap belum tahu…

***

Untuk ke tujuh kalinya, aku bertanya pada sebagian orang-orang didekatku: “Mengapa mereka sibuk melakukan urusan duniawi “ini-itu” yang tidak dibutuhkan dihari ini?”
Mereka menjawab: “Karena masa yang akan datang masih teka-teki, semuanya bisa saja terjadi. Jadi perlu dipikirkan dan dipersiapakan sejak kini”. Aku berpikir, kalau memang semua itu untuk yang akan datang, kenapa yang terpikirkan hanya yang teka-teki saja? Bukankah kematian dan apa-apa yang ada setelahnya juga masa yang akan datang, dan itu semua pasti? Mungkinkah bagi mereka hal yang masih menjadi teka-teki begitu penting, hingga sangat, sangat harus dipikirkan dan dipersiapkan sedari dini? Atau mungkinkah menurut mereka kebahagiaan dan kesengsaraan duniawi yang masih teka-teki lebih diidamkan dan ditakuti dari nikmat dan adzab diakhirat nanti? Atau mungkin karena sebenarnya mereka telah mulai lupa bahwa kematian dan apa-apa yang ada setelahnya adalah masa datang yang pasti adanya, karena “mata” mereka hanya dapat “melihat” dunia, dunia dan dunia?

***

Ke delapan kalinya, aku bertanya pada orang-orang yang menagis dan bahagia karena cinta: “Mengapa cinta bisa membuat mereka menangis dan bahagia?”
Mereka menjawab: “Karena cinta adalah sebuah rasa yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dijalani dengan penuh perasaan”. Aku berpikir, apakah selain cinta tidak mempunyai rasa, tidak keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dijalani dengan penuh perasaan? Sehingga dosa-dosa yang menjadi larangan Tuhan tidak dapat membuat mereka menangis karena tidak keluar dari lubuk hati yang paling dalam, tidak dijalani dengan penuh perasaan sehingga tidak memiliki rasa? Dan apakah amal-amal kebaikan seperti dzikir-dzikir, shalat, munajat dan semacamnya tidak cukup dapat membuat diri mereka bahagia, karena juga tidak keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan tidak dijalani dengan penuh perasaan?

***

Ke sembilan kalinya aku bertanya pada sebagian orang-orang yang rajin banting tulang mencari kedudukan dan rupiah: “Apa yang paling dan paling mereka harapkan?”
Mereka serentak menjawab: “Masuk surga”. Aku berpikir, mengapa mereka hanya rajin mencari rupiah dan kedudukan, sementara amal-amal kebajikan sering tak mereka hiraukan? Mungkinkah mereka beranggapan surga begitu murah hingga bisa dibeli dengan rupiah? Atau mereka pikir bahwa malaikat penjaga neraka akan sungkan karena mereka punya banyak kedudukan dan jabatan, hingga mereka tidak akan dimasukkan ke neraka? Atau ini hanya karena mereka telah diperbudak dunia?

***

Ke sepuluh kalinya aku bertanya pada sebagian orang yang giat bekerja: “Mengapa dan untuk apa mereka giat bekerja?”
Mereka menjawab: “Untuk mencari bekal sebagai sarana melaksanakan kewajiban ibadah”. Aku berpikir, kenapa mereka hanya begitu giat mencari bekal yang menjadi sarananya saja, sedang kewajiban ibadahnya kerap mereka abaikan? Apakah karena menurut mereka mencari sarananya lebih diwajibkan dari melaksanakan ibadahnya? Atau hanya alasan mereka saja, karena tidak mau disebut gila harta?

***

Ke sebelas kalinya aku bertanya pada sebagian orang-orang disana: “Kehidupan yang bagaimana yang diinginkan?”
Mereka menjawab: “Kehidupan yang damai, tenang, aman, tentram, bahagia dan sejahtera”. Aku berpikir, mengapa yang lebih sering mereka ikuti adalah ajakan (asutan) dan aturan main setan, akal dan ammarah mereka? Apakah mereka anggap bahwa kehidupan yang mereka inginkan bisa dicapai dengan mengikuti ajakan dan aturan main setan akal dan ammarah mereka? Sedang yang menciptakan, mengatur, dan yang tahu semua seluk-beluk kehidupan adalah al-Khaliq Tuhan semesta alam. Atau menurut mereka setan, akal dan ammarah mereka lebih pantas untuk didengarkan? Atau hanya karena mereka telah diperbudak saja, karena tidak erat lagi pada al-Rahman?


******* ******* ******* ******* ******* ******* *******

SURATKU 1






Kyth:
Teman-teman pondokku
di-
Kediaman

Assalamu ‘alaikum…
Teman-teman pondokku, aku rindu kalian yang dulu..! Teman-teman pondokku, yang ku tahu kalian adalah teman-teman yang gemar menulis dan membaca ta’bir-ta’bir masalah agama yang oleh orang-orang desa dikenal dengan kitab gundul, tak mudah untuk dibaca apalagi dipahami, hingga kalian yang dulu selalu menjadi rujukan, teladan dan kebanggaan orang-orang desa, orang-orang yang selalu isytighal dan menomer satukan agama, dan mungkin orang-orang seperti kalian yang dululah yang dimaksudkan dengan orang yang dikehendaki baik oleh Allah.

Teman-teman pondokku, kemana kalian yang dulu? Katanya, kalianlah yang akan menemani aku menulis risalah-risalah agama meneruskan syi’ar para ulama’ salaf sebagai pewaris Ambiya’ dan aminullah di bumi ini, tapi mengapa hanya cerita, puisi dan dongeng-dongeng fiktif yang suka kalian tulis? Apakah mungkin karena risalah-risalah agama hanya laku di toko-toko dengan harga yang murah, tidak dapat mempertebal isi dompet? Tidak seperti tulisan-tulisan cerita fiktif yang dapat menghasilkan millyaran rupiah, sedang orang-orang di kampung sana mengharapkan ceramah, nasehat serta bimbingan dari kita, bukan dongeng-dongeng khayal belaka, karena hal itu dapat mereka dengar dari embah-embah tua renta. Atau karena pondok sekarang menurut kalian bukanlah seperti apa yang orang-orang katakan dulu? Bukan lagi tempat untuk mencetak panji-panji agama akan tetapi tempat untuk bebas berekspresi, mencari inspirasi dan berimajinasi, sekedar tempat untuk mencari pengalaman, mencari teman atau mungkin mencari pasangan.

Teman-teman pondokku, kata orang, kalian yang dululah yang meskipun telah tiada masih mendapat pahala untuk dirinya sendiri juga untuk orang-orang di desa, juga dapat mengingatkan orang-orang yang lupa dan menyadarkan orang-orang yang sedang bermimpi lewat oretan-oretan qolam kalian. Tapi mengapa sekarang ukiran-ukiran pena kalian membuat mereka yang hampir sadar menjadi lupa lagi, yang hampir terbangun menjadi tambah tertidur lelap? Apakah memang kalian sengaja menginginkan supaya semua orang menjadi pelupa hingga jika kalian lupapun tak masalah, atau kalian sengaja menginginkan agar orang-orang tertidur hingga jika kalian tak sadar diripun tak mengapa?

Teman-teman pondokku kemana kalian yang dulu? Kenapa yang kutemukan kini teman-teman yang gemar membaca buku-buku yang hanya berisi cerita dan dongeng, bukan lagi penggemar kitab-kitab ber-Nahwu dan ber-Sharraf? Mengapa yang kutemukan kini teman-teman yang senang melantukan lagu-lagu yang sering aku dengar di pasar-pasar, bukan lagi teman-teman yang senang melantunkan kalimat-kalimat agung yang hanya kerap kudengar di masjid dan di mushalla-mushalla?

Teman-teman pondokku kemana kalian yang dulu? Aku rindu kalian yang dulu! Temani aku!
Bukankah kata orang-orang, kalianlah yang akan menemaniku bermusyawarah memecahkan masalah jika mungkin aku tak tahu apa itu fa’il apa itu maf’ul, saat aku tak tahu rukun-rukun wudlu’, shalat, puasa ataupun haji, ketika aku tak paham masalah haidl, nifas ataupun istihadlah, kala aku tak mengerti apa itu bai’, riba ataupun ijarah, jika aku tak mengerti masalah warisan ataupun jinayat, juga katika aku tak tahu mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq dan mana yang bathil, yang semua itu kata orang-orang desa dapat aku cari di pondok-pondok dan majlis-majlis ta’lim bersama kalian. Kenapa sekarang kalian hanya lebih sering “menemani” aku dengan apa itu cinta, bagaimana itu jadian dan bagaimana itu pacaran? Yang ini semua sering aku dapatkan di alun-alun dan di tempat-tempat cangkru’an.

Kata orang-orang, kalian yang dulu adalah orang-orang yang akan menjadi temanku bercerita tentang riwayat hidup para rasul, para shahabat, tabi’in, ulama’ salaf dan para hamba yang tenggelam oleh cintanya kepada Allah, yang semuanya benar-benar ada. Tapi mengapa kini kalian lebih sering bercerita kisah cinta, perjuangan, pengorbanan serta lika-liku para pencinta syahwat, yang hanya mengatas namakan dan dibuat-buat, bahkan mungkin semua itu hanyalah cerita khayal yang sebenarnya tak pernah ada. Apakah bagi kalian cerita cinta para ‘arifin dan shalihin kepada Tuhannya tak lagi se-menyentuh kisah cinta Romeo & Juliet? Apakah sejarah perjuangan dan pengorbanan para Syahidin bagi kalian kini tak lagi sebesar cerita perjuangan dan pengorbanan cinta Qais & Laila? Yang semua ini mungkin saja tidak sebenar dan sebesar kabar angin yang kalian dengar.

Teman-teman pondokku, aku masih ingat dulu, orang-orang seperti kalianlah yang sakunya biasa tersimpan siwak dan tasbih, lalu jika lewat tengah malam datang kalian petik satu demi satu butir-butir tasbih itu mengagungkan asma-asma yang Maha Agung, orang-orang seperti kalian yang dululah yang senang bangunkan aku untuk berwudlu’ lalu tahjjud kemudian bersimpuh bermunajat kepada al-Khaliq Mustajibudda’awat, orang-orang seperti kalianlah yang sering terdengar isak tangisnya ditengah kesunyian malam memohon ampunan karena merasa diri penuh dosa disaat orang-orang lain lelap dalam mimpi. Tapi mengapa sekarang yang kerap aku temukan saku kalian hanya berisi Hp. serta nomer-nomer anak tetangga, lalu saat malam sunyi-sepi yang kalian lebih senang bangunkan adalah anak-anak tetangga yang mungkin sedang beristirahat? Hanya sekedar untuk berbicara ini-itu kemudian terdengar sedikit tawa dan bualan yang ditambah rayuan-rayuan gombal, bahkan kadang sebenarnya dari awal hingga akhir tak ada satupun hal yang penting, sedang ibu-bapak, embah, saudara dan mukminin sangat mengharapkan ampunan lewat doa-doa kalian. Apakah karena sekarang menurut kalian tahajjud dan munajat ditengah malam tidak lagi menyenangkan dan hanya merupakan kebiasaan hidup anak-anak zaman dulu, bukan gaya hidup anak masa kini alias sudah tidak musim atau basi, atau mungkin rahmat dan fadlilah-fadlilah yang Allah turunkan bukan lagi yang menjadi rebutan karena yang diperebutkan adalah anak-anak tetangga desa?

Aku juga masih ingat, dulu orang-orang seperti kalianlah yang tergetar hatinya kala adzan subuh dikumandangakan, walau sebenarnya mata kalian baru saja terpejam, lepaskan selimut penghangat raga walau udara dini hari begitu dingin menusuk tulang, sebab merasa diri dipanggil yang Maha Kuasa, tapi mengapa kini hati kalian lebih akan tergetar jika nada dering memanggil kalian? Mungkinkah panggilan dari Tuhan tak lagi menggetarkan qalbu kalian, karena qalbu kalian sedang sibuk oleh panggilan-panggilan yang lain? Atau mungkinkah sudah sedemikian sempit ruang yang dapat dimasuki oleh signal-signal yang dikirim oleh yang Maha Kuasa, karena ruang itu telah sesak dengan signal-signal yang dikirim oleh XL, Indosat, Telkomsel, Flexi, Freen atau Esia?

Teman-teman pondokku, masih ingatkah kalian? Dulu saat bulan Ramadlan hampir tiba orang-orang desa sana merasa begitu bahagia, selain karena menyambut kehadiran bulan yang agung juga karena mereka akan kembali bersama kalian anak-anak pondok yang dulu kata mereka akan membuat suasana kampung menjadi lebih tenang, sejuk dan tentram, anak-anak yang akan menemani mereka meramaikan masjid dan mushalla dengan jama’ah dan alunan kalamullah, anak-anak yang akan menyampaikan hikmah, fadilah dan keagungan-keagungan bulan Ramadlan kepada mereka. Tapi mengapa kini kalian yang mereka harapkan dapat meramaikan masjid dan mushalla bersama mereka dengan dzikir-dzikir dan bacaan al-Quran malah lebih asik mojok di sudut-sudut ruangan? Mengapa kalian yang mereka harapkan ketika sore hari dapat menyampaikan hikmah, keagungan dan fadilah-fadilah Ramadlan malah lebih senang meramaikan pinggir-pinggir jalan? Mungkinkah kalian telah bosan, karena kata orang-orang kalian adalah anak-anak yang di pondok setiap hari dan malamnya kerjanya hanya mengaji dan muthala’ah, sehingga jika kalian kembali bersama mereka bukanlah untuk hal-hal yang biasa kalian kerjakan di pondok lagi? Atau karena kalian ingin hidup bebas, karena kata orang-orang kalian adalah anak-anak yang di pondok penuh dengan peraturan, tak boleh bermain ke “jalan-jalan” apalagi ke pasar-pasar, hingga saat kalian kembali ke kampung seakan baru terbebas dari penjara atau bagai burung yang baru lepas dari sangkarnya?

Teman-teman pondokku kemana kalian yang dulu? Kembalilah! Aku rindu kalian! Ajak dan ajari aku lagi untuk mempelajari kitab-kitab ilmu agama yang tak mudah dan kaya akan pengetahuan itu, ajak dan temani aku lagi menulis syiar-syiar agama buat orang-orang di desa sana, berceramah, saling menasehati dan membimbing mereka yang mungkin belum tahu. teman-teman pondokku kembalilah seperti dulu! Aku merindukan kalian!
Wassalamu alaikum…

Dari:
Teman seperjuangan kalian
Penghuni ghurfah al-Malikie


*** *** ******* ******* ******* *******


SURAT TEMANKU






For:
Kau yang telah kirimkan surat pada kami
di-
Ghurfah al-Malikie

To the point…
Kau yang telah kirimkan surat pada kami, pertama, kami ingin sampaikan bahwa anak pondok tidaklah sesempit apa yang telah kau gambarkan, tak sesempit apa yang kamu lihat dengan mata sipitmu dan tak se-sederhana apa yang ada diotakmu.

Kau yang telah kirmkan surat pada kami, berikutnya kami ingin ingatkan, anak pondok tidak harus seperti pendapatmu, anak pondok tidak harus jadi kiyai!.
Tak sadarkah kau bahwa negeri ini tak hanya butuh kiyai, tapi butuh yang lain, lalu siapa yang akan menjadi lurah, camat, bupati, gubernur dan presiden jika semuanya jadi kiyai? Anak pondok tak harus membaca, belajar dan mendalami kitab-kitab salaf, karena negeri ini juga butuh seorang sastrawan, seorang novelis, jaksa dan pengacara, lalu siapa yang akan menjadi semua itu jika tidak ada yang piawai dalam masalah-masalah jurnalistik, dan hukum?

Kau yang telah kirimkan surat pada kami, sungguh kami tidak menyangka masih ada anak pondok yang seperti kamu, yang masih berpikiran sempit di zaman yang sudah kian maju ini. Tidak melihatkah kau bahwa kini banyak orang-orang yang penyakitan, banyak orang-orang yang patah hati dan kehilangan harapan? Lalu siapa yang akan menagani mereka jika tidak ada ahli kedokteran dan ahli kejiwaan? Tidak mendengarkah kau bahwa di negeri ini banyak orang-orang yang membutuhkan pembelaan hukum? Lalu siapa yang akan memberi pembelaan kepada mereka dikursi persidangan, jika tidak ada pengacara yang ahli dibidang hukum-hukum Negara?

Kau yang tela kirimkan surat pada kami, kami benar-benar kecewa padamu! Apakah kamu pikir jika tidak ada yang hebat dalam bidang sastra dan kepenulisan Herry Potter akan tersaingi? Apakah kamu pikir orang-orang hanya butuh keseriusan dan tak butuh hiburan dengan cerita-cerita indah?

Oh, kau yang telah kirimkan surat pada kami, kami tidak menyangka kau bisa berpikiran begitu, berpikiran bahwa anak-anak pondok harus menjadi kiyai, harus menjadi tokoh-tokoh agama dimasyarakat serta jadi penghuni masjid-masjid dan mushalla.

Kau yang telah kirimkan surat pada kami, kami benar-benar tak mengerti padamu, Hp. yang kini bagi orang-orang adalah kebutuhan saja masih kau permasalahkan. Sebenarnya kau ini hidup dizaman dulu atau zaman sekarang? Atau kau hanya ingin disebut orang aneh lain dari yang lain? Atau agar disebut orang yang berperinsip, teguh pendirian, walau harus butakan mata akan perkembangan zaman?

Kau yang telah kirimkan surat pada kami, mengapa kau terus mengait-ngaitkan agama dengan kitab-kitab kuning? Apakah kau pikir ilmu-ilmu agama hanya bisa didapat dengan membaca, belajar dan memperdalam kitab-kitab gundul itu? Tidak tahukah kau bahwa zaman sekarang ilmu-ilmu agama juga bisa didapat dari buku-buku berbahasa Indonesia, Inggris, dan lain-lain, atau kamu sengaja tidak mau tahu? Oh ya, perlu kau ingat anak-anak di pondok bukanlah robot yang tidak punya rasa lesu dan jenuh! Hingga mereka harus terus melek membaca, menulis, muthala’ah setiap hari setiap malam, mereka juga butuh istirahat, santai dan hiburan, tidak seperti yang kau haruskan!!!
Sekian.

From:
Teman-teman pondokmu
*** *** ******* ******* ******* ******* ******* *******


SURATKU 2







Kyth:
Teman-teman pondokku
Di-
kediaman

Assalamu ‘alaikum..
Teman-teman pondokku, aku mohon ma’af jika apa yang telah aku tulis pada kalian tidak enak dibaca.
Teman-teman pondokku, apa yamg kalian katakan benar. Sedari awal aku telah menduga bahwa kalian akan memberi banyak alasan, juga sebenarnya aku pun pernah berpikir seperti kalian, bahwa anak pondok tidak harus menjadi kiyai, ustadz atau tokoh-tokoh agama di kampung.

Teman-teman pondokku, sekali lagi aku mohon ma’af. Kalian benar, anak pondok tidak harus jadi kiyai karena negeri ini juga butuh yang lain, dan aku pun tidak mengharuskan kalian jadi seorang kiyai, tidak! Hanya saja aku mengharapkan anak pondok lebih antusias terhadap masalah-masalah agama.

Teman-teman pondokku, tidak harus jadi kiyai bukan berarti tidak tahu dan tak pentingkan agama! Apa jadinya jika lurah, camat, bupati, gubernur atau presiden yang kata kalian dibutuhkan oleh negeri ini tidak tahu soal agama? Jika pemimpin yang akan memimpin rakyat, orang-orang desa hanya tahu apa itu UUD. 45, KUHP serta pasal-pasal dan ayat-ayatnya atau sosial politik dan lika-likunya? Sementara mereka tak tahu apa itu suap-menyuap, apa itu korupsi, apa itu adil, apa itu amanat dan seperti apa hukum-hukum Allah sebab tidak pentingkan agama? Sedang Allah menyuruh kita memilih pemimpin yang tepat, serta menghukumi dengan benar.

Aku sadar agama tidak hanya menyuruh kita hanya memperdalam ilmu agama, tapi juga bukan berarti lebih mementingkan ilmu-ilmu duniawi, apa lagi sampai enggan untuk tahu tentang agama. Satu lagi yang ingin aku tanya, sebenarnya apakah kalau kita hanya lebih mementingkan ilmu-ilmu agama nantinya tidak bisa jadi pemimpin di negeri ini? Dan apakah kini menurut kalian kitab-kitab kuning tidak menerangkan masalah kepemimpinan?. Bukankah dulu para Khalifah kita adalah orang-orang yang ahli ilmu dalam masalah-masalah agama? Bukankah ‘Umar bin Abdul Aziz yang sampai kini dikenal oleh manusia karena kepemimpinannya adalah seorang yang hebat dalam bidang ilmu agama? Dan bukankah ketidak makmuran dan kehancuran negeri ini juga negeri-negeri lainnya diakibatkan karena orang-orang tak lagi peduli agama bahkan tak mau tahu dan akhirnya kedhaliman tersebar dimana-mana?
Tidak tahu bagaimana pemimpin dan memimpin yang baik, baik untuk negeri dan rakyatnya, baik jasmani dan rohani. Baiklah, jika kalian beranggapan Amerika adalah negara sukses, Jepang negara sukses dan Cina negara sukses dan ini semua dipimpin oleh orang-orang yang kurang atau tidak tahu sama sekali soal agama Islam. Tapi apakah kesuksesan suatu negeri cukup hanya dengan menjadi negara adikuasa yang pengakuannya tidak tersentuh krisis, menjadi negara yang dihuni para pakar technologi atau menjadi negara yang dihuni oleh para pengusaha kaya, sementara rakyat telanjang tak jadi masalah, perzinahan sudah biasa, sedang Allah telah menegaskan untuk menjauhi hal itu. Riba tak mengapa tidak bertuhan tak masalah, korupsi adalah usaha, suap- menyuap adalah balas jasa? Sedang Syari’ mengancam para pelaku hal ini.

Teman-teman pondokku, aku mohon ma’af jika kata kalian aku adalah anak pondok yang berpikiran sempit, terlalu sipit melihat kehidupan. Benar kata kalian, negeri ini butuh ahli kedokteran karena orang-orang banyak yang penyakitan, butuh ahli kejiwaan karena banyak orang yang patah hati dan kehilangan harapan. Namun bagaimana jadinya jika pakar-pakar kedokteran buta agama sebab merasa agama tak dibutuhkan dibidang kedokteran? Bagaiman jadinya jika pakar-pakar kedokteran tidak tahu kalau barang najis tidak boleh dikonsumsi walaupun dibuat obat kecuali dalam keadaan darurat? Bagaiman jadinya jika pakar-pakar kedokteran tidak tahu bahwa menggugurkan kandungan dan membuat wanita tidak lagi bisa mengandung diharamkam oleh agama? Bagaimana jika para pakar tidak tahu kalau menyuntikkan sperma kerahim selain istrinya dan transplantasi organ babi pada manusia itu di haramkan? Bagaiman jadinya jika mereka tidak tahu bahwa merubah kelamin adalah bentuk perbuatan tidak mensyukuri nikmat tuhan dan diharamkan? Bagaimana jika pakar-pakar kedokteran tidak tahu bahwa yang berhak memastikan dan menentukan kehidupan dan kematian seseorang hanyalah Tuhan? Bagaimana!?

Teman-teman pondokku, aku tahu zaman kini juga butuh ahli kejiwaan, karena tak dapat dipugkiri, zaman kini banyak orang yang jiwanya gundah-gulana, resah dan gelisah yang kadang tak punya gairah, sehingga ahli kejiwaan sangatlah perlu. Namun jika para ahli kejiwaan tidak tahu tentang agama apa jadinya? Karena beranggapan kejiwaan hanya ada dibuku-buku psikologi barat?. Bagaimana nantinya jika para ahli kejiwaan hanya tahu “Risalah Patah Hati”, hanya tahu “Risalah Frustasi”? Apa nantinya jika para pakar kejiwaan hanya bisa menghibur, membangkitkan semangat mereka yang lagi patah hati, mensupport mereka-mereka yang bangkrut dan gagal duduk di kursi jabatan lalu frustasi, hanya dengan hiburan-hiburan mimpi dan setumpuk teori-teori yang bisa membangkitakan mereka dan bermimipi kembali, yang hanya bisa membuat mereka kembali terhibur dan penuh harapan, dengan dasar itu hanyalah sebuah cobaan, padahal kadang itu adalah sebuah teguran? Sementara mereka-mereka tidak tahu bagaimana mengatasi orang-orang yang “hatinya penyakitan”, orang-orang yang hatinya dihantui rasa iri dan dengki, orang-orang yang menjadi “budak puja-puji”,orang-orang yang hatinya merasa tidak ada orang lain selain dirinya dan orang-orang yang tidak mau sadar bahwa semua kejadian adalah ketetapan dan kuasa Ilahi? Sedang orang yang buta mata hatinya di dunia merekalah orang yang akan tersesat di Akhirat.

Lalu dengan apakah kiranya mereka para pakar kejiwaan mengobatinya, jika mereka tak pernah tahu apa itu riya’, apa itu ujub, hasad, takabbur, thulul amal, muhasabatunnafsi, tawakkal, ridlo’ serta solusi-solusinya yang dulu oleh anak-anak pondok banyak ditemukan dikitab-kitab tashawwuf ulama’ salaf seperti Bidayah, Ihya’ milik al-Ghazali dan al-Hikam libni ‘Athaillah? Apakah cukup dengan “Risalah Patah Hati”, “Risalah Frustasi” dan seabrek teori-teori Psikologi barat yang mereka punya? Bukankah alam ini tidak akan rusak hanya karena banyak orang patah hati, orang bangkrut dan orang yang gagal duduk di kursi jabatan kamudian frustasi? tapi alam ini akan hancur jika manusianya telah dipenuhi rasa iri, dengki sombong, tak tahu diri dan tak tahu Tuhannya.

Teman-teman pondokku, kalian juga tak salah bahwa negeri ini butuh penegak dan pembela hukum, karena banyak rakyat yang butuh perlindungan dan pembelaan hukum, dan memang agama pun telah menyuruh kita akan hal itu di bumi ini. Namun apa jadinya kalau para jaksa kita sebagai penegak hukum tidak “tahu” bahwa seorang penegak hukum harus berlaku adil dan tegas, yang salah harus dihukum yang benar harus diberi perlindungan, apa jadinya kalau para jaksa dan hakim kita masih memutuskan hukum miring sebelah karena masih melirik si dia masih keluarga, si dia masih atasan, atau si dia orang besar dan karena si dia banyak “rupiah”? Bagaimana kalau pengacara-pengacara kita sebagai pembela hukum tidak mengerti agama, yang benar harus dibela yang salah tidak? bagaimana kalau pengacara-pengacara kita tidak lagii menghiraukan hal itu, yang penting klien punya uang berani bayar sesuai target, tancap? bagaimana kalau mereka hanya maunya mencari ketenaran tidak mau tahu klien salah atau benar asal dapat mendongkrak popularitas, tancap? sehingga tak peduli si dia seorang koruptor, seorang penyuap atau disuap dan seoarang penipu, yang penting “ada uang abang jalan”, “asal dapat mengangkat popularitas abang usahain kamu bebas”, urusan keputusan sidang terserah nanti “silat lidah” dipersidangan. Lalu kapan kebenaran akan nampak dan kebathilan akan musnah? atau apakah yang diinginkan memang hukum rimba alias hukum yang tak ditemukan arahnya?

Teman-teman pondokku, aku tidak menyuruh kalian hanya tahu menulis kitab-kitab gundul atau lembaran-lembaran syi’ar agama, karena memang orang-orang kampung juga butuh cerita-cerita yang juga menghibur tidak hanya selalu serius. Tapi apa kata pondok, jika putra-putri didiknya malah hanya bisa merangkai kata-kata cinta yang indah dan cerita-cerita alam khayal sebagai penghibur? Akan jadi apa nasib orang-orang kampung jika mereka hanya terus terhibur dan hanya senang akan sesuatu yang bersifat hiburan? “Hidup butuh hiburan tapi bukan berarti hidup adalah hiburan”. Tak cukupkah mereka dihibur dengan cerita-cerita dongeng zaman dulu? Juga mengapa harus anak-anak pondok yang menjadi penghibur mereka, bukankah masih banyak embah-embah tua di kampung sana yang pintar berdongeng?

Teman-teman pondokku, tidakkah terpikirkan, jika seandainya kita hanya gemar membaca dan menulis syair-syair dan cerita kosong hanya akan menambah jumlah para pengahayal dan jumlah tumpukan kitab-kitab kuning di toko-toko yang tidak laku, sekaligus dapat menghambat syi’ar islam? Ironis, jika anak-anak pondok hanya menjadi kutu buku dan pintar menulis karya-karya kosong yang tak tentu penting dan mendidik pada orang-orang kampung, ternyata tak pernah tahu membaca Washaya atau buku-buku agama lainnya dan tak pernah menulis nadham-nadham yang berisi syi’ar agama atau buku-buku ilmiyah yang agamis. Ironis, jika anak-anak pondok telah khatam membaca ayat-ayat cinta dan seabrek buku-buku cerita cinta seorang anak manusia kepada kekasihnya yang sebegitu tebal-tebalnya, ternyata tidak pernah khatam membaca ayat-ayat Allah dan riwayat-riwayat cinta para hamba yang shalih kepada Penciptanya. Jika anak-anak pondok hafal dan faham isi syair-syair para pujangga, ternyata tidak faham isi nadham-nadham “Abdaubis”, dan Alfiyyah.

Teman-teman pondokku, kenapa harus Herry Potter yang kita saingi? Kenapa bukan al-Um lis-Syafi’i atau Ihya’ lil-Ghazali? Sebesar, sehebat dan seberkualitas itukah Herry Potter, kahlil, dan ayat-ayat cinta, sehingga orang-orang terbius dan ketagihan, atau karena orang-orang telah dibutakan oleh tren zaman? Apakah kalian tidak mendengar bahwa kini banyak teman-teman pondok yang sibuk mencari terjemahan disaat waktu ujian dan tidak naik kelas karena tidak menemukan contekan? Bukankah itu disebabkan karena mereka tidak lagi gemar membaca dan menulis isi kitab-kitab salaf?

Teman-teman pondokku, aku juga tidak menyuruh kalian menjadi penghuni masjid dan langgar. Kita hidup butuh ini dan itu, aku hanya ingin kita yang sudah tahu “warna zaman” tidak melupakan Tuhan, kita yang telah tahu Ancol, Borobudur dan Bali tidak lupa akan tempat shalat dan mengaji. Aku tidak mengajak kalian menjadi “manusia serba putih bersila dan bertasbih angguk-angguk di masjid”, hanya saja kita harus melihat bagaimana nasib masjid dan langgar serta orang-orang disekitarnya jika tak ada lagi yang mau mengajak berjama’ah dan mengaji, karena hanya sibuk bertamasya dan rekreasai. Bukankah orang-orang seperti kitalah yang diharapkan dapat membawa kebaikan sepulangnya dari pondok pada orang-orang kampung sana?

Teman-teman pondokku, sungguh tidak ada niat dihatiku untuk melarang kalian mengantongi Hp. Dan berbusana indah karena agama pun menyuruh kita untuk memperindah diri, pun Dzat Pencipta adalah yang Maha Indah, akupun juga sadar bahwa itu hampir menjadi kebutuhan karena akupun juga begitu. Namun justru karena itu adalah kebutuhan, aku ingin kita tidak hanya ikut-ikutan tren zaman hingga akhirya jadi budak zaman. Tidak berpikirkah kita, kenapa waktu tarif-tarif murah sering bertepatan dengan waktu-waktu ibadah? Tidak sadarkah kita, kapan kita akan sempat untuk bersimpuh jika waktu yang kita tunggu-tunggu ternyata tepat pada jam 00.00 keatas?, dan ternyata telah berapa banyak kita membual dan berbohong pada anak-anak tetangga desa saat tarif murah itu datang? Apakah kini bagi kita waktu tengah malam lebih penting untuk membual daripada istighfar? Atau bagi kita membual dan berbohong lewat signal-signal buatan tidak lagi dosa karena hal itu sudah lumrah?

Teman-teman pondokku, maaf, jika aku menurut kalian telah meng-identikkan agama dengan kitab-kitab kuning, kalian benar, sekarang ilmu agama tidak hanya bisa di dapat dari kitab-kitab salaf, karena buku-buku yang bertulis a,b, c, d-pun juga banyak yang berisi ilmu-ilmu agama. Namun justru karena itu masalahnya, aku berpikir, sekarang sudah banyak buku-buku ilmu agama hasil translit dari kitab-kitab salaf yang dibaca kemudian dipahami oleh penerjemah atau penyusunnya lalu di tashih pada para sepuh pakar agama, itupun kalau di-tashih, bahkan hadist dan al-Quran pun sudah ada yang lengkap dengan terjemahnya. Lalu bagimana jadinya, jika sekarang anak-anak pondok pun telah berpangku tangan pada penerjemah atau penyusun tersebut, sehingga jebolan pondok tidak lagi tahu soal kitab-kitab salaf dan kaidah-kaidah bahasa arab, padahal mereka para sepuh pakar agama yang kerap dijadikan pen-tashih adalah alumni-alumni pondokan, dan kini kian banyak yang telah wafat? Tidak terpikirkankah, jika ini yang terjadi maka akan sangat mudah sekali bagi musuh-musuh agama untuk menyesatkan kita, cukup hanya dengan menterpelesetkan sedikit saja makna atau pemahamannya?

Teman-teman pondokku, sangat sadar kalau anak-anak di pondok bukanlah robot yang tidak punya rasa lesu dan jenuh, karena aku pun begitu. Aku tidak mengharuskan anak-anak di pondok harus terus belajar dan belajar disemua waktu-waktunya, karena kita juga butuh penyegaran, selingan dan hiburan, hanya saja jangan sampai kita lupa pada hal yang terpenting sebab sibuk dengan selingan-selingan. Apa jadinya, jika kita anak-anak di pondok kebiasaan dan sukanya hanya duduk santai di depan toko atau pondo’an, cangkru’an ditemani beberapa bungkus camilan, sebungkus rokok dan segelas kopi ditambah dengan asiknya ngerumpi? Hingga lupa kalau keinginan orang tua susah-payah, pontang-panting cari uang untuk membiayai kita supaya kita menjadi orang yang berilmu, agar mungkin bisa membawa manfaat bagi orang tua, saudara, tetangga, agama dan mungkin semua manusia, baik kini ataupun nanti. Bukankah lebih baik kita di rumah saja kalau hanya ingin ngumpul-ngumpul dan ngerumpi, biar anak-anak di pondok yang lain tidak terganggu dan terpengaruh?

Teman-teman pondokku, silahkan jika kita bercita-cita menjadi pejabat atau pemimpin, tapi pemimpin ala agama yang menjabat dan memimpin ala agama, tahu hukum-hukum Allah, tahu kinerja-kinerja seperti apa yang dibenarkan agama, tidak mentang-mentang kuasa lalu bertindak sesuai selera. Silahkan jika kita bercita-cita menjadi pakar kedokteran atau kejiwaan, tapi pakar kedokteran dan kejiwaan ala agama, tidak memakai segala cara, sadar bahwa yang memberi penyakit, kesembuhan, kehidupan dan kematian hanyalah yang Maha Pencipta, ahli kejiwaan yang dapat menyampaikan cahanya bagi jiwa-jiwa yang buta, sadar bahwa penyakit yang paling berbahaya adalah penyakit hati yang telah digerogoti sifat-sifat tercela. Silahkan jika kita memang ingin menjadi pakar astronomi atau technologi, tapi pakar astronomi dan technologi ala agama. Berpetualang dan meneliti ayat-ayat Tuhan, agar manusia tidak lagi meragukan kekuasaan Dzat Pencipta semesta alam. Silahkan kalau memang kita berkeinginan menjadi penulis atau pembisnis, tapi penulis dan pembisnis ala agama. Dapat mensyi’arkan ilmu-ilmu Allah yang mulia lewat pena, mendidik dan berbagi ilmu, tidak hanya sekedar berbagi cerita, agar mungkin orang-orang yang tidak bisa karena sudah terlambat atau tak punya cukup banyak biaya untuk duduk di bangku pendidikan juga bisa mendapatkan ilmu, agar mereka tidak lagi gampang tertipu dan dipermainkan, tidak hanya sekedar mengejar ketenaran dan pasaran. Pembisnis yang sehat, tahu mana yang halal, mana yang haram, tidak hanya sekedar untuk meraup keuntungan millyaran, hingga mungkin orang-orang yang menderita dan kelaparan akan mendapatkan uluran tangan, tempat-tempat pendidikan dan agama yang kekurangan dana mendapatkan jariyah-an, guna i’lai kalimatillah. Tidak menjadi budak harta. Silahkan kalau kita ingin menjadi orang yang tadak selalu serius, suka bersantai dan berhibur, tapi juga harus ala agama. Tahu waktu dan keadaan, tahu bersantai dan berhibur seperti apa yang diperbolehkan, tahu bedanya antara ngumpul-ngumpul berbagi cerita, berbagi belas kasih, dan ngumpul-ngumpul berbagi fitnah dan rumpian, antara ngumpul agar shilaturrahmi semakin erat, dan ngumpul untuk meluahkan hasrat dan syahwat. Tahu mana tempat bersantai dan berhibur yang baik, dapat membuat diri ingat akan kebesaran Tuhan lewat ciptaan-Nya yang indah-indah, dan mana tempat yang mudlarat, dapat membuat diri menjadi lupa, menambah maksiat dan dosa-dosa. Tahu kapan waktu untuk bersantai dan berhibur, kapan waktu untuk bekerja, belajar, bersujud dan ber-tafakkur. Silahkan kita jadi apa saja, asalkan benar ala agama, karena sebenarnya tidak ada aturan main lika-liku hidup yang dapat membuat kita bahagia kecuali aturan-aturan lika-liku kehidupan yang telah ditetapkan dan dijelaskan oleh agama.

Teman-temanku, sedikitpun tidak terbersit padaku untuk mengajak atau menginginkan agar kita alergi terhadap “ilmu-ilmu umum”, hanya saja aku berharap kita tidak pesimis akan ilmu-ilmu agama, sehingga beranggapan bahwa agama tidak cukup dapat menjadikan kita-kita menjadi ilmuan-ilmuan besar di bumi ini. Masih kurangkah, seorang Abdullah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi tokoh besar matematika dan astronomi, Abu Kamil Shuja’ bin Aslam bin Muhammad bin Shuja’ al-Hasib al-Misri ahli aljabar tertua dan Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Usman al-Azdi ibnu Banna al-Marukkushi? Masih kurangkah, seorang Abu Ali Hasan bin al-Hasan bin al-Haytsam bin al-Basri al-Misri dan Quthb al-Din Mahmud ibnu Dhia al-Din Mas’ud al-Syirazi sebagai pakar fisika, Muhammad bin Musa bin Isa Kamal al-Din ad-Damiri sebagai pakar biologi, ibnu Sina sebagai pakar kedokteran, Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kathir al-Farghani, Tsabit bin Qurrah sebagai pakar astronomi dan geometri, Shihab ad-Din Ahmad bin Majid bin Muhammad bin ‘Amir bin Duwatk bin Yusuf bin Husayn bin Abi Malik as-Sa’id bin Abi ar-Raka’ib bin Najal dan Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Idris al-Ali bin Amrullah sebagai pakar geografi?. Masih kurangkah, seorang Umar bin Khttab dan Umar bin Abdul Aziz sebagai pemimpin adil-tegas dan sukses, seorang Utsman bin Affan sebagai pengusaha besar?
Belum cukupkah Allah membuktikan bahwa tidak ada yang lebih dan hebat dari penganut agama-Nya lewat hamba-hamba yang sangat memperhatikan agama-Nya? dan bukankah beliau-beliau para ilmuan muslim tadi yang telah diakui oleh dunia bahkan ilmuan barat sekalipun, adalah orang-orang pintar dalam masalah-masalah agama, kaidah-kaidah bahasa arab, fiqh, hadits dan tafsir al-Quran? Lalu atas dasar apa kita selaku muslim generasi penerus beranggapan bahwa para ahli agama atau lebih khususnya anak-anak pondok yang biasanya setiap hari dan malam di-”suapi” ilmu-ilmu agama tidak punya peluang jadi orang terdepan? Bukankah semua ilmu milik dan bersumber dari Allah, pun Allah telah berjanji akan mengajari (memberi ilmu) hamba-hambanya yang bertakwa. Dari ini jelas, untuk menjadi ilmuan hebat nan benar kita harus taqwa, dan ketaqwaan akan tertanam jika kita tidak buta akan hukum-hukum Allah, sedang hukum-hukum Allah dapat diketahui dari ilmu-ilmu agama.

Teman-teman pondokku, sekali lagi aku tidak berniat mengharuskan kalian untuk menjadi kiyai, tidak! Karena memang nasib, kebutuhan, dan keadaan kita berbeda-beda, namun juga bukan berarti agama harus dinomer duakan, sehingga tidak masalah jika kita tidak tahu atau tidak mau tahu masalah agama.

Teman-teman pondokku, suratku ini bukan berarti aku adalah seorang yang telah pintar dan menguasai ilmu-ilmu agama atau seorang alim yang telah bersih jasmani dan rohaninya, sehingga berani meng-khotbaih kalian yang jauh lebih pintar dan mungkin lebih terpandang dariku, akan tetapi aku mengirimkan surat ini karena aku adalah teman yang masih membutuhkan kalian, aku ingin kalian kembali menemani dan mengajari aku memperdalam ilmu-ilmu agama seperti dulu.

Teman-teman pondokku, sekali lagi maaf, maaf dan maaf, jika surat yang aku kirimkan pada kalian sangat tidak enak dibaca dan terkesan menggurui atau sok kritis, sok agamis. Sungguh, tidak ada niat begitu dihatiku.
Tsummassalamu ‘alaikum..

Dari:
Teman seperjuangan kalian Penghuni Ghurfah al-Malikie


******* ******* ******* ******* ******* ******* ******* *******

TULISAN FI AL-MALIKIE


Kalau Tak Hiraukan Agama

Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar matematika yang tak tahu berapa hitungan rakaat shalat
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar ekonomi yang tak tahu apa itu bai’ dan apa itu riba
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar bahasa yang tak tahu apa yang dimaksud yadullah dan tsalatsatu quru’
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar astronomi yang tak tahu apa yang tersimpan dibalik rapinya tatanan planet-planet
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar alam yang tak tahu siapa yang mengatur pergantian musim
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar hukum yang tak tahu mana yang benar dan mana yang salah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar musik yang tak tahu idhar, idzgham dan ikhfa’
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul pakar sosial yang tak tahu bagaimana aturan kepada guru dan orang tua
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul ahli kedokteran yang tak tahu apa itu haidl, nifas dan istihadlah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul ahli pertanian yang tak tahu apa itu muzara’ah apa itu mukhabarah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul ahli kejiwaan yang tak tahu apa itu riya’, ujub dan takabur
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul ahli filsafat yang tak tahu sifat wajib, jaiz dan muhal bagi Allah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul ahli sejarah yang tak tahu kapan rasul isra’-mi’raj dan hijrah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul kutu buku yang tak tahu isi sullam, safinah dan bidayah
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul paranormal yang tak tahu bahwa ada siksa kubur, barzah dan mahsyar
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul penguasa yang tak tahu mana yang haq dan yang bathil
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul konglomerat yang tak tahu bahwa ada zakat
Kalau tak hiraukan agama..
Akan muncul hamba-hamba yang tak tahu siapa penciptanya **** Ghurfah: al-Malikie

Jangan Kalian Ubah Pondokku

Jika dulu pondokku tempat orang-orang mengais ilmu dan barokah dari kiyai
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat mencari power dan keuntungan dari kiyai
Jika dulu pondokku tempat orang-orang mengaji dan muthala’ah
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat bersantai para budak bantal
Jika dulu pondokku tempat orang-orang ber-riadlatunnafsi
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat pesta para budak perut
Jika dulu pondokku tempat orang-orang berlatih hidup sederhana dan apa adanya
Mohon jangan kalian ubah pondokku menjadi tempat pamer fashion dan foya-foya
Jika dulu pondokku tempat orang-orang bermusyawarah
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat berghibah
Jika dulu pondokku tempat orang-orang belajar shalawat dan ayat-ayat suci
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat menari dan bernyanyi
Jika dulu pondokku tempat para penerus al-Syafi’i
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat penerus Kahlil Gibran
Jika dulu pondokku tempat orang-orang sopan dan tahu aturan
Mohon jangan kalian ubah pondokku menjadi tempat orang-orang yang brutal dan tak tahu aturan
Jika dulu pondokku tempat orang-orang patuh dan penurut
Mohon jamgan kalian ubah menjadi tempat orang-orang keras kepala dan penentang
Jika dulu pondokku tempat orang-orang yang halus tutur sapanya
Mohon jangan kalian ubah menjadi tempat orang-orang kasar dan asal bicara
Jika dulu pondokku tempat orang rembuk-rembuk tentang pengetahuan dan bekal
Mohon jangan kalian ubah pondokku menjadi tempat bincang-bincang tentang tunangan dan pacar
Mohon jangan kalian rubah pondokku.. ***Ghurfah: al-Malikie


Kapan Ya…

Kapan ya..
Pengungsi-pengungsi disini kembali rajin bermuthala’ah
Agar aku tidak kesulitan mencari teman
Hanya sekedar untuk bertanya-tanya hukum sehari-hari
Kapan ya…
Pengungsi-pengungsi disini kembali giat mengaji
Agar kitabku tak lagi dipinjam mereka
Hanya sekedar untuk dibawa tugas ke desa-desa
Kapan ya…
Pengungsi-pengungsi disini kembali gemar membaca kitab
Agar ketika ujian tak sibuk lagi cari terjemahan
Hanya sekedar untuk dapat mengisi soal-soal ujian
Kapan ya…
Pengungsi-pengungsi disini kembali suka mengadakan mubahatsah diniyyah
Agar sertifikatku, tidak hanya sertifikat “seminar-seminar”
Hanya sekedar untuk bukti mungkin disuatu hari nanti ***Ghurfah: al-Malikie

Apa Kata Dunia..?

Apa kata dunia..?
Jika anak pondok pintar membawakan puisi, “jangan pernah kau coba untuk berubah” atau “camellia”
Ternyata tak pandai baca yasin bertajwid dan shalatullah salamullah
Apa akata dunia..?
Jika anak pondok tahu semua isi laskar pelangi dan ayat-ayat cinta
Ternyata tak tahu apa isi fathul Qarib dan Jurmiyah
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok mengenal nama-nama pahlawan dan tahu sejarah perjuangan kemerdekaan
Ternyata tak hafal nama para mursalin dan tak tahu sejarah perjuangan islam
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok banyak tahu nama-nama model, bintang iklan dan aktris
Ternyata tak mengenal nama-nama pakar fiqh, tafsir dan hadist
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok pintar berkata manis mengambil hati anak tetangga
Ternyata tak pandai bertutur manis mengambil hati guru dan orang tua
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok pandai merias diri dengan barang-barang kosmetik dan busana indah
Ternyat tak tahu mempercantik diri dengan manis muka dan akhlaqul karimah
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok bisa jadi penerus penulis ala Kahlil dan el-Zyirasy
Ternyata tak bisa jadi penerus penulis ala al-Ghazaly, dan al-Nawawy
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok tahu berapa persen pajak rokok, motor dan tanah
Ternyata tak tahu berapa persen zakat zuru’, dzahab dan tijarah
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok tahu tempat-tempat hiburan dan wisata
Ternyata tak pernah singgah ke tempat-tempat yang penuh rahmat dan barokah
Apa kata dunia..?
Jika anak pondok tidak pernah menyia-nyiakan waktu-waktu tarif murah
Ternyata tak pernah menghiraukan waktu-waktu yang istijabah
Apa kata dunia..? ***Ghurfah: al-Malikie


Adakah Yang Lebih Dari Agama?

Adakah ilmu yang lebih mulia dari ilmu agama
Adakah ayat-ayat yang lebih menakjubkan dari ayat-ayat agama
Adakah cerita yang lebih berfaidah dari cerita agama

Adakah hukum yang lebih adil-bijaksana dari hukum agama
Adakah prinsip yang lebih baik dari prinsip agama
Adakah budi pekerti yang lebih dipuji dari budi pekerti agama
Adakah dasar yang lebih kuat dari dasar agama
Adakah ancaman yang lebih mengerikan dari ancaman agama

Adakah pejuang yang lebih sejati dari pejuang agama
Adakah pelindung yang lebih terhormat dari pelindung agama
Adakah pecinta yang lebih tulus dari pecinta agama
Adakah pembangkang yang lebih durhaka dari pembangkang agama
Adakah penjual yang lebih tercela dari penjual agama
Adakah penyesatan yang lebih bahaya dari penyesatan agama

Adakah orang patuh yang lebih disayang dari orang patuh agama
Adakah orang pintar yang lebih beruntung dari orang pintar agama
Adakah orang bodoh yang lebih menyesal dari orang bodoh agama
Adakah orang buta yang lebih akan tersesat dari orang buta agama
Adakah orang pinggiran yang lebih dihargai dari orang pinggiran agama
Adakah yang lebih dari agama? ***Ghurfah: al-Malikie


******* ******* ******* ******* ******* ******* *******


CELOTEH GUE





Teman-teman berkata padaku, “semua ilmu yang baik harus kita pelajari, jangan “alergi” pada ilmu umum”. Aku juga berkata pada mereka, “iya benar, namun tidak boleh “gerak jalan”, semuanya dipelajari secara bersamaan pada satu waktu, harus satu-satu”. Mereka berkata lagi padaku, “tidak, tidak harus satu-satu, sebab kalau satu-satu kita akan ketinggalan pada satu yang lainnya, dan bisa-bisa kita terlambat dan ketinggalan kereta”. Akupun menjawab, “iya juga, tapi tetap harus satu-satu. Coba pikir jika kita menjalaninya secara bersamaan pada satu waktu, bagaimana bisa kita peroleh satu bidang ilmu jika pada saat itu juga pikiran kita sedang sibuk memikirkan satu yang lainnya?, kita bukan hanya akan ketinggalan satu bidang ilmu tapi kedua-duanya, dan bisa-bisa kita bukan hanya ketinggalan kereta tapi juga relnya. Mungkin inilah yang diharapkan dan maksudkan dengan teori MIN FANNIN ILA FANNIN”.

***
Jika ilmu agama mau diibaratkan , maka aku ibaratkan ia pondasi, harus terbangun kuat, tertanam dengan dalam, terus kemudian baru dibangun tembok-tembok, atap dan lainnya. Lalu bagaimana bisa pikiran sibuk memikirkan dan mempersiapkan tembok-tembok, atap dan lainnya? sedang tembok-tembok indah, atap dan lainnya tidak akan dapat berdiri dengan baik jika pondasinya masih goyah, belum kuat dan belum tertanam dengan dalam. Apalagi jika bahan-bahannya saja belum cukup.

***
Teman-temanku berkata, “ilmu agama harus diimbangi dengan ilmu lainnya, agar timbangannya tidak berat sebelah”. Aku juga berkata pada mereka, “iya benar, namun itu jika ilmu agamanya sudah berisi hingga bisa untuk diimbangi kemudian ditimbang. Tapi kalau ilmu agamanya masih “bertaburan” apanya yang mau diimbangi dan ditimbang”.

***
Yang lalu biarlah berlalu
Tak usah kau mengadu
Yang kini biarlah terjadi
Tak usah kau lari
Yang esok biarlah dalam ketetapan
Tak usah kau sangsikan

***
Angan kadang jadi penghalang kita pada Tuhan
Mungkin itu yang disebut thulul amal
Pengakuan kadang jadi penghalang kita pada Tuhan
Mungkin itu yang disebut takabbur
Cinta kadang jadi penghalang kita pada Tuhan
Mungkin itu yang disebut syahwat
Keinginan kadang jadi penghalang kita pada Tuhan
Mungkin itu yang disebut hasad
Kebaikan kadang jadi penghalang kita pada Tuhan
Mungkin itu yang disebut riya’
Satu yang tak terhalangi, keikhlasan

***
Orang yang berbuat karena akalnya
Cenderung melihat imbalan dan sanksinya
Orang yang berbuat karena perasaannya
Cenderung melihat perintah dan larangannya

***
Orang yang merasa kurang akan serakah
Orang yang merasa lebih akan sombong
Orang yang merasa cukup akan bersyukur

***
Mulailah kebaikan dari diri sendiri
Jika tidak bisa,
Mulailah dari mana dan siapa saja

***
Berbuat kesalahan itu gampang
Mengakuinya begitu berat
Berbuat kebaikan itu berat
Mengakuinya begitu gampang

***
Jika yang bergejolak adalah nafsu
Maka akan tersingkirlah rasa malu

***
Dalam cinta harus memakai perasaan
Tapi bukan berarti tidak memakai pikiran
Dalam bertindak harus memakai pikiran
Tapi bukan berarti tidak memakai perasaan

***
Jika hanya sekedar mengaku, siapa juga bisa
Tapi kalau untuk diakui?
Disuruh mengambil upah semua orang akan mau, tapi kalau disuruh bekerja?

***
Jangankan uang palsu,
Kabajikan palsupun tidak akan laku

***
Kebaikan itu lebih baik berawalan “me” dari pada “di”
Keburukan itu lebih buruk berawalan “me” dari pada “di”

***
Barang murahan adalah makanan empuk orang-orang tak berduit
Manusia murahan adalah makanan empuk orang-orang berduit

***
Jika orang jahat berbuat baik, itu mencurigakan
Jika orang baik berbuat jahat, itu membahayakan

***
3 Kemungkinan seseorang akan berkata “INI AKU”
- Memang hanya ada dia di tempat itu
- Tidak tahu kalau ada orang lain disitu
- Tidak tahu malu

***


KomPlin (Kata Orang Merasa Perihatin Lingkungan)
“Persembahan Shohib Ghurfah al-Malikie”

Kami mohon ma’af kalau kata kalian tulisan kami ini “gini-gitu”
So, tidak usah pakai muka masam pada kami setelah kalian membaca tulisan ini

Ini hanya buah pikiran kami dengan melihat “sedikit” kenyataan
So, tidak perlu diangkat kepersidangan saat isi tulisan ini kalian mintai pertanggung jawaban

Namun kami pun tidak memaksa kalian untuk meng-iyakan apa yang terdapat pada tulisan ini
So, jika memang ada yang perlu dirembuk-rembukkan, silakan saja main-main ke ghurfah kami “Ghurfah al-Malikie” di area KAMPOENG M2KD, atau kalian luahkan saja disitu tuh….!!!